ADA
PINTU DI JENDELA
oleh
: Oesman Doank
TUJUH BELAS
Bondan
baru saja membatalkan niat memanggul gas. Ia nampak meringis,
sedangkan To mo yang baru saja menaikkan tabung gas ke pun daknya,
tersenyum manis.
“
Orang hidup itu ada kelebihan dan keku rangan masing-masing, boss.
Kalau tidak kuat di paksakan, malah bikin pundak rontok , boss “
“Saya,
kan cuma kepingin nyoba. Soal nya, kalau giliran kamu nggak ada, dan
di rumah kehabisan gas. Masa si mbok sendiri yang harus manggul ?”
“
Lhooo, kan banyak tukang ojek. Ting gal besuit, tukang ojek datang.
Terus bilang, ba wa tabung ini ke rumah boss Bondan. Pasti lang sung
diantar. Apelagi kalau di kasih bonus,” kata Tomo, yang lantas
meninggalkan kios, setelah bossnya muncul dari dalam rumah.
Bondan
menghampiri. Mengangsurkan lembaran seratus ribu rupiah, sekaligus
minta dua bungkus rokok kretek kesukaannya. Ia tidak mengambil
selembar uang kembalian senilai se puluh ribu rupiah, dari tangan
pemilik warung, yang bermaksud mengembalikannya ke Bondan
“Titip
buat si Tomo saja, koh ?” Kata Bondan
“
Buat si Tomo semua ?”
Koh
Sie Liang Tai, tercengang.
“Yaa,
iyalah, koh. Kalau buat si engkoh, nanti malah tersinggung. Masa’
yang manggul gas anak buah, yang terima uang tip, bossnya? “
“Hayyaaa,
wisa aja, luh. Manalah mung kin oweh telsinggung. Dapat uang tuh,
yang ada malahan senang, tau. Kalo telsinggung, namanya oweh olang
bego. Tolol“
“
Tapi, itu benar untuk si Tomo, lho, koh Bukan buat koh Sie Liang
Tai. Awas, kalau ng gak amanah, saya laporkan ke KPK “
“Hayyyaaa…emangnya
oweh koluptol. Cetiaw juga kagak bakal oweh tilep. Apalagi ce ban?
Pokoknya, loe olang mesti pelcaya. Pasti sampai ni uang tip ke si
Tomo “
“
Yaa, memang harus begitu, koh. Ama nah tetap amanah. Tidak boleh
berubah jadi Ami nah atau Amunah, meski cuman pakai hotpant. Dengan
alasan apa pun. Oh, ya, kamsiah, ya, koh. Saya pamit “
“
Sama-sama. Kamsiah juga “
Koh
Tie Liang Tai, memasukkan lemba ran uang tip buat anak buahnya ke
kotak duit. Ia tak lagi memperhatikan Bondan, yang dengan santai
meninggalkan wa rungnya.
Bondan
menyalakan rokoknya. Ia melangkah santai. Menikmati suasana jelang
Maghrib. Suasana yang jarang dinikmatinya. Dan, kali ini, ia jadi
merasa asing. Padahal, ia sering lewat. Bahkan, selalu melintas jalan
yang sedang ia tapaki. Hanya, biasanya, yang menyen tuh aspal, hanya
roda mobilnya. Bukan sandal nya.
Namun,
Bondan hanya menangkap sepi. Ia tak melihat ada yang lalu lalang.
Hanya sen dirian. Melangkah. Pulang ke rumahnya. Yang besar, luas,
dan mewah. Memang bukan yang isti mewa. Banyak rumah lain yang juga
mewah. Lu as tanahnya, sama. Sekitar lima ratusan meter. Hanya
bentuk, motif dan arsitektur desain nya.beda. Bondan tak tahu seperti
apa suasana di rumah para tetangga yang tak pernah akrab de ngannya.
Tapi, jelas Bondan tahu, rumahnya bu kan rumahku istanaku.
Rumahnya hanya sebatas tempat berte duh, agar terhindar terpaan
hembusan angin yang bergemuruh, dari terik mentari yang panasnya
menyengat, membakar kulit, dan dari derasnya guyuran hujan atau
rintik gerimis, yang kesemuanya hanya membuat hatinya miris.
Bersambung
…....
0 komentar:
Posting Komentar