ADA PINTU
DI JENDELA
oleh : Oesman Doank
TIGA
PULUH
Tentu
saja Bondan tak tahu, kalau yang tadi ia la kukan, diperbincangkan
dengan serius oleh para pelayan. Entah komentar apa yang akan
diungkapkan Bondan, jika ia tahu dan mendengar langsung, pribadinya
diperbincang kan.Padahal, apa yang dilakukan Bondan, tanpa pikir
pan jang. Tanpa beban, dan tanpa berharap dapat pujian.
Dari siapa
pun. Termasuk Tukijan dan teman-temannya, yang kerap kali ia beri
uang tip. Memang, back groundnya beda. Tapi, kontradiktif atau pun
tidak, Bondan termasuk orang yang suka memberi. Paling tahu per sis,
yaa, mbok Sinem. Meski embel-embelnya beda, salah satu alasan mbok
Sinem betah bekerja di rumah Bondan, karena ia sering dapat uang
tips. Jika sengaja dihitung, jumlahnya melebihi gaji tetapnya yang
per bulan hanya sejuta rupiah.
******
BONDAN
malah tidak ingin memberi uang sepeserpun, pada seorang pengemis
perempuan sekitar tiga puluh lima tahunan, meski ia menggendong bayi
dan tangan kanannya menuntun seorang bocah lelaki berusia sekitar
enam tahunan.
Hanya,
Bondan yang sedang memperhatikan dua rumah yang posisinya saling
bersebelahan dan di masing masing pagarnya ada tulisan dikontrakkan,
sama sekali tak merasa terganggu. Tapi, ia sempat kesal. Pasalnya,
meski ia sudah minta maaf dengan begitu sopan dan sudah mengatakan,
“lain kali saja ya, bu,” si pengemis, terus aja memohon agar ia
dikasihani dan diberi sedekah.
“ Ibu
kan, masih gagah. Masih kuat. Mestinya, ibu kerja. Sebab, mengemis
itu, menghina diri sendiri, lho, bu ?”
Bondan
terpaksa memberi saran. Sabar yang duduk rileks di atas motor yang
diparkir di sebuah pohon rindang, tak jauh dari posisi Bondan, hanya
bisa memperhatikan dari tempat ia melepas lelah
“ Kerja
apa dan di mana, oom. Saya su dah cari kerjaan ke berbagai tempat,
tak ada yang mau menerima saya. Meski hanya sebagai pem bantu rumah
tangga,” jelas si pengemis
“ Oh,
yaa” Bondan kaget.
“ Iyaa,
oom. Cari kerja itu benar-benar susah,” tegas pengemis perempuan,
sambil mene nangkan bayi di gendongannya, dan bocah lelaki yang
dituntunnya
“Kalau
begitu, kerja saja di rumah sa ya. Kebetulan, si mbok Sinem, butuh
teman. Nah , ibu mau, kan, ikut dan bekerja di rumah saya ?”
“
Ta..tapi, oom?”
“Soal
gaji? Ibu jangan kuatir. Ibu mau minta gaji berapa? Satu juta atau
satu juta sete ngah?”
“A..a..anu, oom. Lain kali saja”
Pengemis
perempuan itu malah jadi berbalik gugup. Ia tak menyangka, jika pria
yang dipanggilnya oom, malah mengajak bekerja dengan gaji
menggiurkan. Tapi, ia juga kesal, karena yang ia harapkan diberi
uang, bukan diminta bekerja, meski gajinya cukup menggiurakan.
Bukankah ia lebih biasa menengadahkan tangan, meminta dan dengan
begitu tinggal menikmati hasil tanpa harus memeras keringat dan
membuang tenaga?
Jika harus
bekerja, bukan tak sanggup. Tapi, tak biasa. Dan jika bekerja,
berarti ia harus menguras tenaga, merelakan diri diimarahi majikan,
dan bukan tidak mungkin, pakai disiksa. Bukankah banyak pembantu yang
dianiaya?
Bondan
tak sempat menanyakan me ngapa pengemis wanita yang pinter nyetel
wajah nelangsa, malah menolak tawarannya, setelah mengaku sudah
melamar sebagai pembantu ke berbagai tempat, tapi tak kunjung ada
yang mene rima. Sebab, si pengemis bergegas pergi tanpa permisi.
Bocah delapan tahun yang dibawanya, nyaris terpelanting saat ia
menuntunnya dengan gerak cepat.
“Kenapa
tuh pengemis,boss? Ngam bek?” Tanya Sabar, ketika Bondan mengham
pirinya.
“Tau? Dia bilang,
makanya ngemis lan taran susah cari kerja. Eh, gue ajak kerja di ru
mah gue, malah langsung ngeloyor. Kayaknya, sih, ngambek “
“Orang
males, tuh, yaa, gitu, boss. Dia jak kerja bukan senang, malah kesel.
Sebab, ker ja, kan, mesti pakai tenaga. Mesti siap diomelin.
Modalnya, cukup gede. Ka lau ngemis, modal nya kan cuma
salammualaikum “
“ Oh,
yaa? Terus, gimane, nee? Kalau setengah jam ke depan orangnya nggak
datang juga, kita cari ke komplek yang lain, si abang kagak
keberatan, kan?”
“ Insya Allah,
boss “
“ Insya Allah
keberatan apa tidak keberatan “
“ Boss, sampai
besok pun saya siap an tar boss ke mana saja. Yang penting, tujuannya
cari rumah. Eh, kayaknya, yang punya datang, tuh boss “
Bersambung...........
0 komentar:
Posting Komentar