oleh : Oesman Doank
MUDIK ke Tasik serasa asyik karena di mobil, bocah bocah cilik berisik. Ada canda antara bocah yang membuat mereka bisa "ngakak", tapi tak lama ada "perkelahian" bocah yang membuat mereka nangis jejoakan. Saat demikian, ada yang malah teriak teriak minta pulang. Ada yang minta jajan dan juga ada yang minta istirahat karena kebelet mau pipis. Oh, ya, juga ada yang bilang pusing dan mau....(maaf) muntah.
Untung, selalu ada plastik kresek. Plastik yang sebenarnya digunakan untuk bungkus makanan, namun saat krisis muncul di perjalanan yang menimpa bocah atau bisa juga menimpa orang dewasa, dapat dimanfaatkan untuk menampung sesuatu yang sudah masuk dan terpaksa harus kembali dikeluarkan.
Plastik kresek yang khas (berwarna hitam) , sebenarnya bisa jadi sebuah kisah.
Menarik atau tidaknya, tergantung bagaimana fakta dan kata kata diasah
Hanya, kisah mudik di hari raya Iedul Fitri jauh lebih merekah
Padahal, saat mudik tak luput dari suasana klasik, yaitu: macet. Bukan sekedar macet dengan dalam bentuk PAMER (PAdat MERayaP) atau si MAI LAN (RaMAI tapi LANcar) Sebab, yang paling menonjol justeru CETOL (maCET TOTAL)
Kondisi Nagreg (Jawa Barat) saat kami mudik, pada 9 Agustus pukul 12.00, benar benar mecet total.
Semula kami tetap yakin akan sampai di Ciawi, Tasikmalaya, sekitar pukul 15,00 WIB. Terlebih, petugas sudah mengisyaratkan dengan kalimat yang jelas. Bunyinya, Garut ke kanan dan Tasik ke kiri
Nyatanya, saat tinggal turun menuju jalan ke Tasikmalaya, petugas menghadang dan beberapa petugas langsung mengalihkan semua kendaraan ke Garut. Intruksi petugas yang nampaknya siap bekerja keras mengatur lalu lintas, bukan tidak mengagetkan. Sebab, jika ingin ke Tasik harus lewat Garut, berarti harus menempuh jarak yang lebih panjang. Hanya, dalam kondisi demikian, sebatas kaget yang sangat dibolehkan. Selain kaget, karena rute perjalanan dialihkan , harus ditiadakan.
Mengapa? Karena harus tetap mantap dalam bersyukur kepada Sang Khalik.
Dan rasa syukur memudahkan siapapun untuk menikmati kondisi yang dihadapi sebagai kenyataan.
Saya pribadi merasakan hal itu. Merasakan betapa hebatnya anugerah sang Khalik bila kita selalu bersyukur padaNYA. Dan, yang kemudian terasa, tetap leluasa menikmati perjalanan, meski saat di Nagreg tepat pukul 12.00 dan tiba di Ciawi sekitar pukul 23.30 WIB
Dalam kondisi yang tak dapat dihindarkan, terjebak dalam kemacetan, sepanjang menuju Tasikmalaya melalui Garut, boleh jadi membuat kita resah. kesal dan terus menggerutu. Namun, jika menerima kenyataan seperti itu dengan rasa syukur yang mendalam, justeru membuat kita leluasa menikmati suasana, karena sepanjang jalan bisa tetap menjalin keakraban dengan keluarga. Saling menciptakan suasana yang membuat kita bahagia, karena dalam macet bisa terus tertawa. Bisa terus saling mengingatkan untuk memarkir kendaraan, saat melihat mesjid dan saat shalat tiba.
Meski tangis para bocah tak bisa dibendung, namun tawa bahagia para bocah saat mereka becanda, menjadi hal yang bisa dijadikan obat. Terlebih, kala bocah berteriak kepingin makan atau minum, langsung atau tidak langsung, membuat kita juga ingat untuk melakukan hal yang sama. Dengan demikian, lapar dan haus segera teratasi. Terlebih, kami selalu membawa bekal untuk dinikmati dalam perjalanan. jadi, kalau pun harus mampir ke warung atau toko, sebatas membeli makanan kegemaran untuk para bocah.
Dan, puncak nikmat terasa saat tiba di rumah. Meski sudah larut malam, sanak saudara menanti kedatangan. Meski diakui mereka harap harap cemas karena tak tahu bakal tiba pada pukul berapa, saat melihat kenyataan kami telah tiba dengan selamat, kegembiraan langsung menyeruak. Setelah turun dari kemdaraan, belum lagi masuk ke rumah sudah saling berjabatan tangan. Berpelukan dan yang paling utama adalah saling memohon maaf dan memaafkan.
Kampung tempat kami di masa kecil menikmati udara segar, udara dingin dan sunyi yang kerap mendatangkan ilham untuk melakukan sesuatu, meski sudah banyak mengalami perubahan, namun tetap terbayang sebagai tempat di mana masa silam tetap terbayang di pelupuk mata. Memang, saat mudik, jalan di kampung kami dalam kondisi rusak. Hanya, sepertinya terlupakan karena kami sudah tiba dengan selamat karena sepanjang perjalanan, selalu mengingatkan agar siapa pun yang giliran memegang stir kendaraan, diingatkan untuk melaju dengan hati hati. Boleh kencang bila memang memungkinkan, namun umumnya jalan merayap karena sepanjang jalan diwarnai oleh kemacetan.
Pun saat akhirnya harus kembali ke Jakarta. Jika saat berangkat dari Jakarta kami start jelang Subuh dan shalat di perjalanan dan tiba di kampung halaman pada 23.30. Saat balik dari mudik, kami yang berangkat dari Ciawi pada pukul 03.00 dinihari, tiba di Jakarta pada saat yang nyaris tak beda dengan tiba di Ciawi, yaitu sekitar pukul 23.15.
Saat kembali, kami memilih istirahat di Cianjur sampai waktu Ashar. Sebab, tujuan Jakarta lewat puncak dialihkan ke Sukabumi. Setelah Ashar kami bisa melewati puncak. Hanya, tetap tak luput dari kemacetan. Meski hanya dibuka satu jalur (hanya untuk ke Jakarta) macet total tetap tak bisa dihindarkan. Bisa seperti yang kami nikmati, karena jumlah kendaraan sedemikian buanyaaak. Ditambah dengan pemudik yang menggunakan sepeda motor, maka warna macet total sangat dominan.
MUDIK dan macet total, sepertinya tak bisa lagi dipisahkan.
Apakah karena dua hal ini yang justeru mengundang semangat untuk tetap mudik saat Lebaran? Wallahu Alam. Yang jelas, meski sadar bakal terjebak kemacetan di sepanjang perjalanan, tradisi mudik belum bisa dipatahkan.
Sudah saatnya pemerintah meningkatkan kualitas jalan raya di semua wilayah. Khususnya, di pantura. Rakyat tak percaya jika orang Indonesia tak mampu membuat jalan raya berkualitas, yaitu, jalan raya yang memiliki kekuatan yang bisa dipakai dengan tetap dalam kurun waktu sepuluh tahun. Dengan begitu, tak ada lagi tradisi memperbaiki jalan sepanjang tahun atau jelang Idul Fitri. Sebab, jika dibuat dengan baik dan benar, dibuat dengan sepenuh amanah dimana jika biayanya sebesar satu trilyun, yang direalisasi adalah jalan raya berkualitas yang dapat dipakai untuk masa sepuluh tahun
Kalau setiap tahun selalu diperbaiki, dengan alasan apapun, rakyat akan secara terbuka menyimpulkan, bahwa dalam sistem pembuatan atau perbaikan jalan, di dalamnya terdapat potensi korupsi. Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK, Bambang Widjayanto. Dan, kayaknya, jika sudah patut diduga, saatnya KPK melakukan penyelidikan dan mengungkap, mengapa mutu jalan sepanjang pantura begitu rendah, sehingga selalu cepat rusak dan bukan selalu awet dan bisa digunakan selama sepuluh tahun
MUDIK ke Tasik serasa asyik karena di mobil, bocah bocah cilik berisik. Ada canda antara bocah yang membuat mereka bisa "ngakak", tapi tak lama ada "perkelahian" bocah yang membuat mereka nangis jejoakan. Saat demikian, ada yang malah teriak teriak minta pulang. Ada yang minta jajan dan juga ada yang minta istirahat karena kebelet mau pipis. Oh, ya, juga ada yang bilang pusing dan mau....(maaf) muntah.
Untung, selalu ada plastik kresek. Plastik yang sebenarnya digunakan untuk bungkus makanan, namun saat krisis muncul di perjalanan yang menimpa bocah atau bisa juga menimpa orang dewasa, dapat dimanfaatkan untuk menampung sesuatu yang sudah masuk dan terpaksa harus kembali dikeluarkan.
Plastik kresek yang khas (berwarna hitam) , sebenarnya bisa jadi sebuah kisah.
Menarik atau tidaknya, tergantung bagaimana fakta dan kata kata diasah
Hanya, kisah mudik di hari raya Iedul Fitri jauh lebih merekah
Padahal, saat mudik tak luput dari suasana klasik, yaitu: macet. Bukan sekedar macet dengan dalam bentuk PAMER (PAdat MERayaP) atau si MAI LAN (RaMAI tapi LANcar) Sebab, yang paling menonjol justeru CETOL (maCET TOTAL)
Kondisi Nagreg (Jawa Barat) saat kami mudik, pada 9 Agustus pukul 12.00, benar benar mecet total.
Semula kami tetap yakin akan sampai di Ciawi, Tasikmalaya, sekitar pukul 15,00 WIB. Terlebih, petugas sudah mengisyaratkan dengan kalimat yang jelas. Bunyinya, Garut ke kanan dan Tasik ke kiri
Nyatanya, saat tinggal turun menuju jalan ke Tasikmalaya, petugas menghadang dan beberapa petugas langsung mengalihkan semua kendaraan ke Garut. Intruksi petugas yang nampaknya siap bekerja keras mengatur lalu lintas, bukan tidak mengagetkan. Sebab, jika ingin ke Tasik harus lewat Garut, berarti harus menempuh jarak yang lebih panjang. Hanya, dalam kondisi demikian, sebatas kaget yang sangat dibolehkan. Selain kaget, karena rute perjalanan dialihkan , harus ditiadakan.
Mengapa? Karena harus tetap mantap dalam bersyukur kepada Sang Khalik.
Dan rasa syukur memudahkan siapapun untuk menikmati kondisi yang dihadapi sebagai kenyataan.
Saya pribadi merasakan hal itu. Merasakan betapa hebatnya anugerah sang Khalik bila kita selalu bersyukur padaNYA. Dan, yang kemudian terasa, tetap leluasa menikmati perjalanan, meski saat di Nagreg tepat pukul 12.00 dan tiba di Ciawi sekitar pukul 23.30 WIB
Dalam kondisi yang tak dapat dihindarkan, terjebak dalam kemacetan, sepanjang menuju Tasikmalaya melalui Garut, boleh jadi membuat kita resah. kesal dan terus menggerutu. Namun, jika menerima kenyataan seperti itu dengan rasa syukur yang mendalam, justeru membuat kita leluasa menikmati suasana, karena sepanjang jalan bisa tetap menjalin keakraban dengan keluarga. Saling menciptakan suasana yang membuat kita bahagia, karena dalam macet bisa terus tertawa. Bisa terus saling mengingatkan untuk memarkir kendaraan, saat melihat mesjid dan saat shalat tiba.
Meski tangis para bocah tak bisa dibendung, namun tawa bahagia para bocah saat mereka becanda, menjadi hal yang bisa dijadikan obat. Terlebih, kala bocah berteriak kepingin makan atau minum, langsung atau tidak langsung, membuat kita juga ingat untuk melakukan hal yang sama. Dengan demikian, lapar dan haus segera teratasi. Terlebih, kami selalu membawa bekal untuk dinikmati dalam perjalanan. jadi, kalau pun harus mampir ke warung atau toko, sebatas membeli makanan kegemaran untuk para bocah.
Dan, puncak nikmat terasa saat tiba di rumah. Meski sudah larut malam, sanak saudara menanti kedatangan. Meski diakui mereka harap harap cemas karena tak tahu bakal tiba pada pukul berapa, saat melihat kenyataan kami telah tiba dengan selamat, kegembiraan langsung menyeruak. Setelah turun dari kemdaraan, belum lagi masuk ke rumah sudah saling berjabatan tangan. Berpelukan dan yang paling utama adalah saling memohon maaf dan memaafkan.
Kampung tempat kami di masa kecil menikmati udara segar, udara dingin dan sunyi yang kerap mendatangkan ilham untuk melakukan sesuatu, meski sudah banyak mengalami perubahan, namun tetap terbayang sebagai tempat di mana masa silam tetap terbayang di pelupuk mata. Memang, saat mudik, jalan di kampung kami dalam kondisi rusak. Hanya, sepertinya terlupakan karena kami sudah tiba dengan selamat karena sepanjang perjalanan, selalu mengingatkan agar siapa pun yang giliran memegang stir kendaraan, diingatkan untuk melaju dengan hati hati. Boleh kencang bila memang memungkinkan, namun umumnya jalan merayap karena sepanjang jalan diwarnai oleh kemacetan.
Pun saat akhirnya harus kembali ke Jakarta. Jika saat berangkat dari Jakarta kami start jelang Subuh dan shalat di perjalanan dan tiba di kampung halaman pada 23.30. Saat balik dari mudik, kami yang berangkat dari Ciawi pada pukul 03.00 dinihari, tiba di Jakarta pada saat yang nyaris tak beda dengan tiba di Ciawi, yaitu sekitar pukul 23.15.
Saat kembali, kami memilih istirahat di Cianjur sampai waktu Ashar. Sebab, tujuan Jakarta lewat puncak dialihkan ke Sukabumi. Setelah Ashar kami bisa melewati puncak. Hanya, tetap tak luput dari kemacetan. Meski hanya dibuka satu jalur (hanya untuk ke Jakarta) macet total tetap tak bisa dihindarkan. Bisa seperti yang kami nikmati, karena jumlah kendaraan sedemikian buanyaaak. Ditambah dengan pemudik yang menggunakan sepeda motor, maka warna macet total sangat dominan.
MUDIK dan macet total, sepertinya tak bisa lagi dipisahkan.
Apakah karena dua hal ini yang justeru mengundang semangat untuk tetap mudik saat Lebaran? Wallahu Alam. Yang jelas, meski sadar bakal terjebak kemacetan di sepanjang perjalanan, tradisi mudik belum bisa dipatahkan.
Sudah saatnya pemerintah meningkatkan kualitas jalan raya di semua wilayah. Khususnya, di pantura. Rakyat tak percaya jika orang Indonesia tak mampu membuat jalan raya berkualitas, yaitu, jalan raya yang memiliki kekuatan yang bisa dipakai dengan tetap dalam kurun waktu sepuluh tahun. Dengan begitu, tak ada lagi tradisi memperbaiki jalan sepanjang tahun atau jelang Idul Fitri. Sebab, jika dibuat dengan baik dan benar, dibuat dengan sepenuh amanah dimana jika biayanya sebesar satu trilyun, yang direalisasi adalah jalan raya berkualitas yang dapat dipakai untuk masa sepuluh tahun
Kalau setiap tahun selalu diperbaiki, dengan alasan apapun, rakyat akan secara terbuka menyimpulkan, bahwa dalam sistem pembuatan atau perbaikan jalan, di dalamnya terdapat potensi korupsi. Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK, Bambang Widjayanto. Dan, kayaknya, jika sudah patut diduga, saatnya KPK melakukan penyelidikan dan mengungkap, mengapa mutu jalan sepanjang pantura begitu rendah, sehingga selalu cepat rusak dan bukan selalu awet dan bisa digunakan selama sepuluh tahun
0 komentar:
Posting Komentar