POLITIK masih saja tak mengenal dan anti persahabatan sejati. Tak heran jika kerap kisruh karena politik yang hanya mengenal kepentingan abadi, tak pernah berpartisipasi pada terciptanya kesejahteraan rakyat yang riil. Kesejahteraan lebih diprioritaskan untuk para elite yang berkuasa dengan dalih demi menyelamatkan atau membesarkan partai. Padahal, partai hanya alat dan secara khusus dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan.
Tak heran jika pasca pileg 9 April silam, kekisruhan politik kembali mencuat ke permukaan. Selain demi kepentingan yang abadi, kekisruhan juga terjadi karena demi kepentingan pribadi tak sedikit kader partai yang berbuat curang dalam pemilu. Kecurangan tak saja terjadi sejak awal dengan banyaknya yang mencuri start kampanye. Tapi juga saat kampanye dan pencoblosan.
Meski tahu menggunakan politik uang merupakan perbuatan yang melanggar, namun hal yang dilarang ini justeru seperti sengaja dilakukan, baik dengan terang terangan mau pun dengan cara abu abu dan banyak caleg yang lewat tim suksesnya malah dengan gencar melakukan serangan fajar.
Jika sudah demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa niat anggota dewan untuk melakukan korupsi bukan surut tapi malah membuat rakyat harus siap siap semaput. Mengapa? Karena hal yang sama kembali terulang. Jadi, tak mungkin tidak berusaha untuk melakukan korupsi mengingat biaya menjadi anggota dewan terbilang sangat besar.
Korupsi akan kembali menghebohkan, karena sangat tak mungkin biaya pengeluaran yang besar diikhlaskan demi melaksanakan pengabdian yang tanpa pamrih.Bisa demikian, karena jika hanya mengandalkan gaji dan tunjangan, dengan masa tugas lima tahun justeru tak balik modal. Semangat mengembalikan modal plus bons keuntungan pun dijadwal.
Kisruh politik pun menggeliat mengingat hasil perolehan suara versi hitung cepat, diapresiasi sedemikian mendalam. Hingga, meski KPU belum mengumumkan secara resmi, hasil hitung cepat sudah lebih dahulu dijadikan pedoman untuk berkoalisi. Dan apa yang bisa diciptakan jika politik membangun Indonesia dirancang lewat koalisi antar partai? Tentu saja tak beda dengan sebelumnya, yaitu, hanya bagi bagi kursi dan kekuasaan. Dalam kondisi demikian, tentu saja yang difokuskan adalah kesejahteraan yang bukan untuk rakyat. Tapi untuk partai, kelompok dan para kroni mereka yang sepakat berkoalisi.
Dan yang paling mengherankan, di saat para elite partai sibuk melakukan lobi untuk berkoalisi demi memperoleh peluang duduk bersama dalam kekuasaan, sebuah partai membiarkan dirinya diwarnai oleh perseteruan yang mestinya tak perlu terjadi.
Ini mengherankan, karena begitu beraninya PPP memecat kader mereka yang mempertanyakan prilaku Ketua Umum PPP, yang di saat masa kampanye, sengaja menghadiri kampanye Partai Gerindra dan tanpa merasa bersalah, Ketua Umum PPP tak hanya berdiri sejajar di panggung kampanye. Tapi juga tampil untuk memberikan sambutan.
Ketika apa yang dilakukan Ketum PPP dipertanyakan, justeru keputusan yang diambil adalah memecat kadernya yang dianggap bersuara vokal.
Begitulah kepentingan abadi dalam perpolitikan.
0 komentar:
Posting Komentar