ADA PINTU DI JENDELA
Oleh: Oesman Doank
ENAM PULUH ENAM
Sangat identik dengan pak Sadewa, almar hum
suaminya. Menurut Sumirah, sifat dan sikap anak tirinya, tak lain foto copy
dari ayahnya, yang juga seperti itu. Paling mengesankan saat pak Sadewa
mengatakan dengan jujur saat beliau akan
menikah lagi.
Saat itu, Sumirah tak saja merasa,
yang dikatakan suaminya – ingin menikah lagi, adalah kejujuran yang jarang
melekat pada diri seorang lelaki yang
entah mengapa dan dengan alasan apa, malah menyatakan niatnya untuk menikah lagi. Sumirah sendiri nyaris tak
percaya, jika pada akhirnya, malah Sumirah sendiri yang datang ke calon madunya
untuk melamar. Saat menyatakan dia meminang untuk suaminya, dilakukan dengan
tanpa beban.
Sumirah sendiri tak tahu persis,
mengapa saat menyaksikan akad nikah
suaminya dengan wanita lain, bisa berlapang dada. Kalau pun ada tetesan air
mata dari kedua sudut matanya, yang dia rasa hanya keharuan.
Sumirah terharu karena tak menyangka
kalau dirinya cukup kuat menerima kenyataan. Dan saat kedua orangtuanya
mengatakan dirinya bodoh, Sumirah hanya menanggapi dengan senyum
Saat itu, Sumirah menyimpulkan
lebih baik dia mengijinkan dengan segenap
ketulusan, timbang malah marah dan menolak tapi akhirnya Pak Sudewa tetap
menikahi wanita yang ingin diperistri. Bukan karena ia menyadari suaminya mampu
bersikap bijak, tapi karena kondisi saat pernikahannya pun tak berbeda. Nyaris
sama dan bisa dibilang serupa, karena saat menyuntingnya, status pak Sadewa
juga bukan lajang dan bukan duda. Beliau sudah beristeri dengan satu orang anak,
bernama Bondan dan baru sekarang Sumirah bisa bertemu dengan putra pertama
suaminya.
Bedanya, saat menikahinya Pak Sadewa melakukannya tanpa sepengetahuan isteri
pertamanya. Bukan karena ia tak ingin jujur
atau sengaja tidak mau jujur. Tapi, kejujuran dalam bentuk apapun yang dipersembahkan
kepada ibu kandung Bondan yang menjadi isteri pertamanya, tak akan diapresiasi dengan pertimbangan yang
bijak. Malah, kata Pak Sadewa, tak mungkin ia diijinkan menikah dengan wanita
lain, meski sebagai isteri tak pernah menghormati dan menghargai pak Sadewa.
Pak Sadewa yakin, isteri pertamanya yang
tidak pernah menghargai, jauh dari menghormati suami, dan dinilai terlalu neko
neko dalam me ngayuh biduk kehidupan rumah tangga bersama pak Sadewa yang
ketika itu ekonominya mulai membaik, memilih tidak mengizinkan dan ia siap
melakukan apa saja, asal pak Sadewa tidak meni kah dengan wanita lain, .
Sedangkan yang paling mengesankan, dan
hal ini yang tak akan mungkin bisa dilupakan oleh Sumirah, keleluasaan dan
kemudahan mene rima dirinya dan juga adik tirinya. Bondan sama sekali tak
melihat sosoknya yang patut dibenci. Juga tak menempatkan kedua adiknya sebagai
sosok, yang mengganggu kehidupannya. Paling tidak, mengganggu kemutlakan Bondan
dalam menikmati harta warisan.
Bersambung…..
0 komentar:
Posting Komentar