CINTAKU JANGAN DIBELAH DUA
oleh : Oesman Doank
TIGA BELAS
JALI belum berani ke luar dari sebuah Warung Tegal tempat dia biasa makan siang atau ngopi seusai nutup kios kembangnya. Meski di depannya sudah tersedia kopi pesanannya, Jali yang jantungnya masih berdegup kencang belum menyentuh kopinya dan juga belum berani ke luar untuk melihat suasana kiosnya. Meski begitu, Jali sangat berharap agar nyonya Mira sudah minggat dari kiosnya.
Mbak Wati yang kebetulan tidak sibuk dan hanya menunggu dua orang yang belum juga membayar hidangan yang sudah dinikmati mereka, sebenarnya heran melihat ulah Jali, yang beda dari hari hari sebelumnya. Awalnya, tanda tanya yang hinggap di mbak Wati tak lain karena Jali belum juga menyentuh kopi buatan mbak Wati, yang biasanya langsung dinikmati oleh Jali.
"Bang Jali kenapa malah nganggurin kopinya, sih? Biasanya, meski panas sudah dituang ke piring kecil dan langsung ditiup tiup supaya bisa bisa cepat diminum. Kenapa sekarang kopinya malah dibiarkan jadi penganguyran?" Kata Mbak Wati
Tentu saja di dalam hati dan mbak Wati belum berani mengatakan langsung. Tapi setelah mbak Wati yang diam diam memperhatikan Jali dengan seksama, memberanikan diri bertanya langsung.
" Bang Jali....Kopinya mau diminum apa mau terus dibikin nganggur. Kalau cuma dibiarkan nganggur, biar saya saja deh yang minum," kata mbak Wati
Tentu saja Jali mendengar jelas suara mbak Wati terdengar merdu karena oleh mbak Wati memang dibikin agar suaranya merdu.
"Eeeh... anu.. maksud saya, emangnya kopi yang saya pesan sudah dibikinin," Jali yang nggak kepengen kaget tapi ternyata kaget, langsung nyahut.
Jawaban Jali membuat mbak Wati yang semula tidak punya niat lain, jadi kepincut buat ngegodain Jali lantaran tampilan Jali yang beda dari hari sebelumnya, membuat mbak Wati jadi ingin tahu kenapa si tukang kembang berwajah tampan, mendadak tampil beda padahal biasanya suka humor banyak canda
"Waduuuuuh... Memangnya kedua mata bang Jali yang indah lagi dimeremin. Kan begitu minta kopi langsung saya bikinin. Kok saya ingatkan supaya diminum malah ngejawab kayak gitu. Abang lagi punya masalah, yaa?" Mbak Wati
Sebenarnya Jali mau bilang iya. Tapi pas sadar di warung ada orang lain, Jali hanya menjawab dengan begitu singkat dan setelah bilang nggak, Jali bergegas meraih gelas kopinya. Tanpa buang waktu, Jali yang biasa menuangkan kopi terlebih dahulu ke piring kecil yang dijadikan tatakan gelas kopi. langsung menyeruput kopinya sampai tuntas.
Membuat Mbak Wati yang tahu persis kebiasaan Jali karena setiap sore biasanya mampir untuk ngopi, terheran heran. Tapi, bukan hal itu yang membuat mbak Wati jadi kepingin terus berbincang dengan Jali. Tak heran jika mbak Wati kembali memanfaatkan suasana.
"Tumben nggak dituang dulu ke piring kecil. Memang kopinya sudah nggak panas, bang?"
"Mbak," sahut Jali yang kayaknya sudah kelihatan agak tenang.
"Masalahnya bukan sudah panas atawa masih dingin, eeh, maksud saya, bukan sudah dingin atawa masih panas. Tapi, kayaknya saya sudah harus balik ke kios. Kan kalau ada pembeli sayanya gak ada, sama saja membiarkan rezeki hilang. Saya permisi dulu yaa. Oh iya, sore saja yaa bayarnya"
Setelah itu, Jali yang pikirannya lebih fokus ke kios kembangnya, bangkit dari kursi panjang dan saat meninggalkan Warteg milik mbak Wati, sama sekali tak memperhatikan sang pemilik Warteg. Dan Jali juga tidak tahu kalau setelah meninggalkan warteg mbak Wati, pemiliknya kelihatan kesal.
"Huuuuuh... kapan sih dikau berubah. Dari dulu.. kalau ngobrol selalu sekedarnya. Kapan sih buka kesempatan ngobrol panjang," gerutu mbak Wati yang tentu saja tak terdengar oleh dua pengunjung yang kelihatannya juga lebih asyik dengan urusan mereka berdua
Bersambung.......
oleh : Oesman Doank
TIGA BELAS
JALI belum berani ke luar dari sebuah Warung Tegal tempat dia biasa makan siang atau ngopi seusai nutup kios kembangnya. Meski di depannya sudah tersedia kopi pesanannya, Jali yang jantungnya masih berdegup kencang belum menyentuh kopinya dan juga belum berani ke luar untuk melihat suasana kiosnya. Meski begitu, Jali sangat berharap agar nyonya Mira sudah minggat dari kiosnya.
Mbak Wati yang kebetulan tidak sibuk dan hanya menunggu dua orang yang belum juga membayar hidangan yang sudah dinikmati mereka, sebenarnya heran melihat ulah Jali, yang beda dari hari hari sebelumnya. Awalnya, tanda tanya yang hinggap di mbak Wati tak lain karena Jali belum juga menyentuh kopi buatan mbak Wati, yang biasanya langsung dinikmati oleh Jali.
"Bang Jali kenapa malah nganggurin kopinya, sih? Biasanya, meski panas sudah dituang ke piring kecil dan langsung ditiup tiup supaya bisa bisa cepat diminum. Kenapa sekarang kopinya malah dibiarkan jadi penganguyran?" Kata Mbak Wati
Tentu saja di dalam hati dan mbak Wati belum berani mengatakan langsung. Tapi setelah mbak Wati yang diam diam memperhatikan Jali dengan seksama, memberanikan diri bertanya langsung.
" Bang Jali....Kopinya mau diminum apa mau terus dibikin nganggur. Kalau cuma dibiarkan nganggur, biar saya saja deh yang minum," kata mbak Wati
Tentu saja Jali mendengar jelas suara mbak Wati terdengar merdu karena oleh mbak Wati memang dibikin agar suaranya merdu.
"Eeeh... anu.. maksud saya, emangnya kopi yang saya pesan sudah dibikinin," Jali yang nggak kepengen kaget tapi ternyata kaget, langsung nyahut.
Jawaban Jali membuat mbak Wati yang semula tidak punya niat lain, jadi kepincut buat ngegodain Jali lantaran tampilan Jali yang beda dari hari sebelumnya, membuat mbak Wati jadi ingin tahu kenapa si tukang kembang berwajah tampan, mendadak tampil beda padahal biasanya suka humor banyak canda
"Waduuuuuh... Memangnya kedua mata bang Jali yang indah lagi dimeremin. Kan begitu minta kopi langsung saya bikinin. Kok saya ingatkan supaya diminum malah ngejawab kayak gitu. Abang lagi punya masalah, yaa?" Mbak Wati
Sebenarnya Jali mau bilang iya. Tapi pas sadar di warung ada orang lain, Jali hanya menjawab dengan begitu singkat dan setelah bilang nggak, Jali bergegas meraih gelas kopinya. Tanpa buang waktu, Jali yang biasa menuangkan kopi terlebih dahulu ke piring kecil yang dijadikan tatakan gelas kopi. langsung menyeruput kopinya sampai tuntas.
Membuat Mbak Wati yang tahu persis kebiasaan Jali karena setiap sore biasanya mampir untuk ngopi, terheran heran. Tapi, bukan hal itu yang membuat mbak Wati jadi kepingin terus berbincang dengan Jali. Tak heran jika mbak Wati kembali memanfaatkan suasana.
"Tumben nggak dituang dulu ke piring kecil. Memang kopinya sudah nggak panas, bang?"
"Mbak," sahut Jali yang kayaknya sudah kelihatan agak tenang.
"Masalahnya bukan sudah panas atawa masih dingin, eeh, maksud saya, bukan sudah dingin atawa masih panas. Tapi, kayaknya saya sudah harus balik ke kios. Kan kalau ada pembeli sayanya gak ada, sama saja membiarkan rezeki hilang. Saya permisi dulu yaa. Oh iya, sore saja yaa bayarnya"
Setelah itu, Jali yang pikirannya lebih fokus ke kios kembangnya, bangkit dari kursi panjang dan saat meninggalkan Warteg milik mbak Wati, sama sekali tak memperhatikan sang pemilik Warteg. Dan Jali juga tidak tahu kalau setelah meninggalkan warteg mbak Wati, pemiliknya kelihatan kesal.
"Huuuuuh... kapan sih dikau berubah. Dari dulu.. kalau ngobrol selalu sekedarnya. Kapan sih buka kesempatan ngobrol panjang," gerutu mbak Wati yang tentu saja tak terdengar oleh dua pengunjung yang kelihatannya juga lebih asyik dengan urusan mereka berdua
Bersambung.......
0 komentar:
Posting Komentar