ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doblank
LIMA PULUH TUJUH
“Di mana bapak dimakamkan, tante…eh, maaf, dimana bapak dimakamkan bu ?” tanya Bondan, yang tak bisa menyembunyikan kegugupan,
karena ia memang baru pertama kali bertemu dan belum tahu, harus memanggil apa
pada Sumirah.
Terlebih usia Sumirah, ibu tirinya ha nya bertaut
sekitar lima tahunan, dengan Bon dan.
Jadi, bisa dimaklumi jika Bondan gugup.
“Saya lebih suka dipanggil bu.
Sebab, sa ya isteri pak Sadewa. Tapi, terserah Bondan mau memanggil saya dengan
sebutan apa. Yang jelas, saya datang bukan sebatas ingin mengabarkan tentang
berita duka. Tapi, juga membawa banyak hal. Saya akan menjelaskan semua, jika
memang diberi kesempatan untuk melakukannya “
Bondan menarik nafas. Memandang
sesa at ke Sumirah. Tanpa bermaksud menikmati pa ras cantik Sumirah, yang
dibalut kerudung, me mang sangat menawan, untuk maksud yang tidak baik. Bondan
sadar, wanita cantik di depan mata nya, meski masih terbilang muda dan penuh
peso na, adalah isteri ayahnya.
“ Bagaimana kalau ibu duduk dulu,”
kata Bondan, yang mulai nampak tenang dan kuat..
Bondan sudah tidak gugup lagi.
Pipinya pun sudah kering dari air mata yang sempat mem basahi pipinya. Bondan
sudah menyeka air mata duka. Dan, Bondan yang sudah melihat Sumirah, ibu
tirinya, duduk di sofa sambil sesekali mena tap ke arah Bondan, kembali
bersuara
“Saat ini, saya hanya ingin
melakukan sa tu hal, pergi berkunjung ke makam ayah. Jika ibu bersedia
mengantar, terima kasih. Tapi, jika ibu lelah atau tidak bersedia karena hal
lain, tolong berikan alamat makam tempat ayah saya dikebu mikan, karena saya ingin secepatnya ke sana“
Sumirah sadar, ia tidak boleh kecewa
kare na Bondan malah minta alamat pemakaman dan akan pergi ke sana. Berarti
Sumirah harus bersa bar, karena belum mendapatkan peluang untuk menjelaskan
permasalahan. Meski begitu, Sumirah tetap yakin, ia tetap memiliki peluang
untuk menjelaskan permasalahan dan semua hal yang perlu diungkap.
Selain agar Bondan tidak lagi berteka-te ki, mengapa ayahnya
menikah lagi dengan Sumi rah dan seorang wanita lainnya yang sudah wafat
beberapa hari silam bersama pak Sadewa, juga agar bisa menyelesaikan
permasalahan yang harus siap dihadapi
oleh keluarga pak Sadewa, pasca wafatnya beliau akibat kecelakaan lalu lintas
Banyak yang akan dijelaskan, tapi
harus menanti dengan sabar, memang membuat Sumi rah harus menghadapinya dengan
hati berdebar. Dikatakan demikian, karena kesempatan untuk menjelaskan, bisa
saja malah tidak diperolehnya. Dan jika hal itu yang terjadi, Sumirah belum da
pat menentukan apa yang harus dilakukan, agar
tetap dapat peluang untuk menjelaskan.
Dan Sumirah yang mau tak mau harus memilih lebih baik bersabar, segera memberita
nama, alamat pemakaman dan sekaligus
letak makam pak Sadewa yang telah beristirahat deng an tenang di tempat
peristirahatan terakhirnya
“Jika memang Bondan butuh teman, Ibu
bersedia kok, mengantarkan, “ tambah Sumirah
“Tapi, hanya jika ibu tidak lelah.
Jika ca pek, silahkan istirahat dan nanti kita bicara pan jang lebar “
“ Ibu memang perlu istirahat. Tapi,
bukan berarti lelah,” jawab Sumirah
Ibu tiri Bondan, tak sekedar mem perlihat kan semangat
menemani Bondan pergi ke pema kaman, tapi juga memperlihatkan sikapnya yang
diwarnai keikhlasan. .
Bersambung……….
0 komentar:
Posting Komentar