ADA PINTU DI JENDELA
Oleh: Oesman Doank
LIMA PULUH SATU
MALAM kedua, rencana tetap nginap di rumah bang Sabar, terpaksa
harus kembali diper timbangkan. Bukan lantaran rumah petakan yang dikontrak
bang Sabar pengap. Juga bukan karena suasananya, bising oleh suara anak-anak
yang umumnya lebih betah bermain di luar
rumah tim bang kumpul bersama orangtua mereka di rumah
Pada hal, jika para orangtua dan anak-anak
nya membiasakan diri untuk tetap betah berada di rumah – meski hanya rumah
kontrakan, anak-anak tak menjadi liar. Liar dalam arti, saat bela jar mereka belajar
dan orangtuanya menuntun anaknya agar lebih semangat dalam belajar. Ti dak malah lebih semangat bermain,
seolah-olah, seluruh waktu mereka hanya untuk bermain
Jika hal pertama yang dilakukan,
betah dan enjoi di rumah, yang kelak akan terbangun, tak hanya indahnya kebiasaan
bercengkrama. Ta pi, juga berbagai hal lain yang membuat hubu ngan
orangtua—anak, makin harmonis. Makin dekat dan mesra. Makin saling mengerti dan
memahami, di mana posisi anak dan dimana po sisi orang tua, yang memang
berkewajiban dan senantiasa harus mengasuh, membimbing dan mendidik anaknya,
agar tumbuh dan berkembang bersama kodrat kebaikan, seperti yang diajarkan Rasulullah
SAW
Jika para orangtua bisa mendidik dengan baik,
mampu mengarahkan dengan benar, dan memotivasi dengan tepat, anak-anak mereka
ak an tumbuh dan berkembang menjadi anak
anak yang sejak dini, akhirnya akan lebih mengenal dan terbiasa mengutamakan
dan melaksanakan berbagai kebaikan
Pada akhirnya, yang tertanam di
jiwanya adalah akhlak mulia. Budi pekerti yang membuat anak-anak, berjiwa sholeh
dan sholehah. Tak malah sebaliknya, liar dan akhirnya tumbuh menjadi anak yang
tidak orientatif pada ilmu dunia maupun ilmu akhirat
Kalau saja kesadaran ke arah itu
menjiwa di setiap orangtua, akan bermunculan anak-anak sholeh dan sholehah,
yang duapuluh lima tahun mendatang, mampu memakmurkan dan menjadi kan Indonesia
sebagai negara adi kuasa. Dan, anak seperti itu, bisa berasal dari mana saja.
Tak terkecuali dari rumah petak yang sempit, panas dan pengap
“Kok bisa begitu, boss?” Tanya Sabar,
yang dengan seksama mendengarkan opini Bon dan, sambil terus mengerik punggung
Bondan, yang sebagian sudah bergaris merah.
Bondan memang merasa nggak enak ba dan.
Ia tahu, jika tubuhnya masuk angin. Untuk itulah, ia mempertimbangkan akan ke
dokter, la lu pulang ke rumahnya. Tapi, Sabar yang melihat kondisi Bondan, menahan
dan berinisiatif mengerik tubuh Bondan yang menurut Sabar, masuk angin.
Meski tak biasa, Bondan tak merasa
terpak sa untuk dikerik. Ia memenuhi saran Sabar, karena menghargainya dan
sekaligus ingin men coba bagaimana rasanya dikerik saat tubuh dise rang
penyakit masuk angin
Bersambung………
0 komentar:
Posting Komentar