ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doank
EMPAT PULUH TUJUH
Kali ini, sabar berusaha keras
untuk tidak menangis. Ia ingin mengabulkan permintaan Bon dan, yang ingin
dirinya tetap tegar dan terus sa bar
“Naaah, gitu dong, lu. Tegar, bang,
te gar. Jangan sebentar-bentar nangis. Malu-maluin, gue aje, lu “
Bondan mengembalikan surat tanda
bukti pembayaran. Sabar segera memasukkannya ke tas pinggang
“ Yang barusan boss bilang,
serius?”
“Nginap di rumah, lu? “
Sabar mengangguk. Dadanya berdegup.
Ia berharap, Bondan sebatas bercanda.
Jika seri us? Mau tidur di mana? Rumah petak yang dikon trak, hanya membuat
nafas sesak. Ventilasinya tak beraturan. Atapnya pun hanya dari asbes. Ji ka
siang, panas dan berisik oleh hingar- bingar suara anak-anak.
Malam, pasti pengap. Sebuah kipas angin
kecil miliknya, yang kadang rusak saat di pakai, malah membuat tamunya akan
kegerahan. Tak mungkin Bondan merasa nyaman, bila benar ingin nginap di
rumahnya
“ Menurut lu, gue ni lebih baik
nginap di rumah abang, nginap di hotel apa pulang dan tidur di rumah, yaa ?”
“ Aduuuh, gimana, ya?
Saya,jadi susah ngejawabnya, nih, boss?”
“Susah apa nggak ngijinin gue
nginap di rumah abang ?”
“Boss, sumpah! Jangankan nginap,
boss mau datang ke rumah saja, saya pasti
langsung senang setengah mati, boss. Cuma…Aduuuh, gi mana, ya? Terus terang,
boss, rumah petak yang saya kontrak, nggak layak buat anda, boss?”
“Lu anggap gue orang hebat, apa?
Emang gue raja cipoa atawa presiden yang nggak punya negara? Emang gue orang
penting? Lu ka lau ngomong jangan bikin gue kesal, bang. Gini-gini, gue ini
bukan orang penting. Bukan anak ra ja atawa anak presiden. Masa’ lu malah
bilang, rumah lu nggak layak buat gue?
Bang, bilang aja terus terang.
Lu tuh nggak sudi kalau gue nginap di rumah lu. Takut terganggu, dan takut
direpotin. Iya, kan ?”
“Saya sama sekali nggak punya pikiran
seperti itu, boss. Sumpah! Saya sangat senang dan merasa terhormat jika memang
boss mau ngi nap di rumah saya. Cuma, masalahnya, saya ting gal di rumah petak.
Ukurannya cuma tiga kali tujuh meter, boss. Sempit. Panas, pengap. Nggak layak
kalau boss nginap di rumah kontrakkan saya “
“Lu jangan ngomong, ngaco, bang.
Gue nggak nanya berapa ukuran rumah, lu, kok. Juga nggak nanya luas atau
sempit. Yang gue tanya, boleh apa nggak gue nginap di rumah abang? Jawaban yang
kepengen gue dengar, boleh atau tidak. Kalau boleh, cepat kita pulang ke rumah
abang. Kalau nggak boleh, gue nggak maksa. Ngerti, kan, bang apa yang gue omongin
?”
Bersambung………
0 komentar:
Posting Komentar