ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doank
EMPAT PULUH DELAPAN
“Sangat ngerti, boss. Sekarang
terserah boss, saja. Jika boss memang mau nginap, silah kan. Jika tidak, saya
tidak marah “
“Ooh, gitu, bang. Jadi, lu tetap berharap
gue nggak nginep? Yaa, sudah, berarti lu nggak ngijinin gue nginep ?”
Bondan jadi kesal. Bukan becanda
jika langsung melengos lantas bergerak dengan cepat, meninggalkan Sabar. Sabar
sangat kaget. Juga sangat menyesal. Dia tidak mengira, jika Bondan yang
seharian mengesankan, bisa ngambek berat.
Tanpa malu, Sabar yang tak ingin mengecewa kan Bondan, berteriak. Ia memanggil sambil me ngejar
Bondan.
“Boss..tunggu boss.”
Sabar yang terengah-engah, nekad. Ia memberanikan diri meraih tangan Bondan.
“Gue mesti tunggu apalagi?”
kata Bon dan, sembari menepiskan tangannya.
“Boss tunggu di depan sana.
Saya am bil motor. Malam ini, boss harus nginap di ru mah saya “
“ Lu ikhlas ?”
“ Insya Allah, boss. Tunggu di
depan sana, boss. Saya ke belakang, ke tempat parkir, ambil motor “
Bondan tersenyum. Begitu
cepatnya ia meluluhkan kesal yang barusan saja hinggap di dirinya. Ia menatap Sabar yang bergegas mening galkannya,
dan nampak berlari agar bisa segera mengambil
sepeda motor di tempat parkir. De ngan santai, Bondan bergerak ke luar. Ke
pintu keluar rumah sakit Mahal Itu Indah.
Sabar tak segera mengeluarkan
motor ke jalan kecil, di antara deretan motor yang di parkir. Ia bingung dan dan
selalu terhenyak oleh rasa haru. Sabar kembali menangis. Sesenggukan
“Pak..kenapa? Kehilangan motor apa
ada keluarga yang meninggal dunia,” tanya lelaki brewok, sekitar empat puluh
tahun, berpakaian necis, yang tanpa ragu, menyapa Sabar yang sedang sesenggukan.
Sabar buru buru menyeka air mata dan
berusaha hentikan sesenggukannya. Baru kemudian dia menoleh ke arah suara.
Melihat lelaki brewok berpakaian necis, Sabar tak peduli
“Jangan banyak tanya, lu? Gue
mau nangis, kek. Mau ngakak, kek. Kenapa lu pake mau tau urusan orang”
Brengseknya, lelaki brewok
malah tidak merasa tersinggung. Malah, dengan sangat bersahaja dia menyahut
“Maafin saya, pak. Soalnya, saya
nggak bisa nangis. Padahal, isteri saya, baru saja me ninggal dunia “
Sabar yang malah kesal, membentak.
“
Terserah bapak. Toh, bapak bisa segera cari isteri lagi. Tapi, kalau kehilangan
orang ba ik, kehilangan manusia berhati malaekat, kemana saya bisa nyari
gantinya?”
“Oooh, berarti kita sama-sama
kehila ngan, ya, pak?”
“Mau sama, kek, mau beda, kek, itu
uru san masing-masing !”
Bersambung…….
0 komentar:
Posting Komentar