ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doblank
LIMA PULUH ENAM
“Maafkan saya, mbok. Saya memang sa
lah. Saya menyesal karena sejak Tari menikah, saya jadi malas membawa hape “
Si mbok Sinem, jadi lega. Karena
den Bondan tak menyalahkannya. Ia segera
memban tu mengangkat tubuh Bondan, yang begitu lung lai.
“ Den, ayo bangun, den. Temui
isteri bapak den Bondan. Beliau menunggu sejak tadi pagi, den. Bersama kedua
anaknya “
“ Jadi..isteri bapak saya ada di
dalam, mbok?”
Mbok Sinem mengangguk. Ia lalu mema
pah Bondan, ke dalam rumah. Membawanya ke ruang keluarga. Di sana, isteri pak
Sadewa, yang tengah duduk bersama duka, yang pipinya masih sembab, melihat mbok
Sinem. Ia berdiri. Mena tap mbok Sinem yang memapah Bondan, anak tirinya. Memang Sumirah, terlihat
sangat kikuk. Tapi, sesaat kemudian, ia menghampiri Bondan, yang menatapnya
dengan pandangan lesu.
Bondan menjawab ucapan salam ibu
tiri nya, yang tubuhnya tertutup rapat oleh pakaian muslim. Jilbabnya, panjang,
sampai ke pinggul. Tanpa ragu, Sumirah yang menguatkan diri, yang sudah berani datang
ke rumah putra suami nya, menghampiri Bondan dan menyalami putra suaminya, Bondan.
Sumirah tak menyangka, jika Bondan tak hanya meraih tangannya. Tapi, juga
mencium tangannya dengan takzim.
“Maafkan saya…saya tak mengurus pe
makaman bapak, “ kata Bondan, sambil melepas genggaman tangan Sumirah
“ Saya yang harus berminat meminta
ma af. Sebab, baru bisa datang, baru bisa menyam paikan kabar duka. Mestinya, tidak seperti ini. Hanya, saya
sendiri tak tahu harus berbuat apa, ketika semua terjadi dengan begitu saja.
Saat ke jadian, saya sedang di rumah. Sehari sebelum nya, bapak pamit dan pergi karena bapak harus mengantar
isterinya yang lain ke rumah sakit,
karena kandungannya sudah besar dan akan sege ra melahirkan,” kata
Sumirah, yang lantas menje laskan dengan gamblang mengapa ia baru sem pat
datang pagi ini dan baru bisa mengabarkan langsung kepada Bondan.
“Mestinya, kabar itu saya
sampaikan ketika bapak wafat atau sebelum dimakamkan. Hanya, tak mungkin saya
lakukan, karena saya sendiri tak tahu harus berbuat apa, mengingat pihak rumah
sakit baru bisa menghubungi saya, setelah jenazah bapak sudah akan dimakamkan,”
tutur Sumirah yang berusaha untuk
tidak mena ngis.
Hanya,
harus segera bergega peristiwa tabrakan itu merasa lega karena si kap Bondan, ternyata,
sangat bersahabat.
Kenyataan yang nampak begitu jelas
di pelupuk mata Sumirah, benar-benar di luar duga annya. Jadinya, tak saja membuat
Sumirah lega. Tapi sekaligus membuatnya leluasa untuk bicara banyak hal.
Sumirah mencoba memanfaatkan pe luang yang dianggapnya sangat terbuka. Tujuan Sumirah
bukan untuk mengambil hati atau mera ih simpati. Sebatas menjelaskan dan berharap
Bondan mengerti dan memahami apa yang se sungguhnya telah terjadi.
Boleh jadi, sampai saat ini
Bondan ma sih membenci, tak saja pada ayahnya. Tapi juga membenci dirinya, atas
tudingan merebut pak Sadewa dari sisi ibu Bondan. Juga boleh jadi, Bondan pun tidak
simpatik pada isteri ketiga ayahnya yang
telah tewas bersama pak Sadewa, dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, beberapa
ha ri silam.
Bersambung………
0 komentar:
Posting Komentar