ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doank
LIMA PULUH SEMBILAN
Itu
sebabnya, Sumirah dalam hati Sumirah mengucap Alhamdulilah… Sumirah lebih mengutamakan
untuk terlebih dahulu ber syukur pada Tuhan karena di tengah perjalanan dan di
saat macet, Tuhan mengabulkan doanya. Baru kemudian Sumirah menanggapi, dengan
tetap bersikap hati-hati.
“ Ibu mohon maaf ,” ujar Sumirah,
yang dengan hati-hati mencoba menangkap peluang dan berharap benar-benar tak
ada kesulitan.
“ Maaf? Untuk apa ? Bukankah kita
baru pertama kali bertemu ?” Sahut Bondan, yang menjawab tanpa beban dan tanpa
muatan apa pun, kecuali apa adanya.
Sumirah tahu, Bondan tidak
berpura-pura kaget. Makanya, Sumirah bergegas kembali bica ra. Langkah berikut
yang diayun Sumirah, jelas sangat menentukan apakah ia membawa Bondan ke suatu
kondisi yang jauh lebih terbuka atau sebaliknya. Sumirah akan berusaha
mewujudkan nya.
“ Ya, secara fisik, kita memang
baru ber temu. Tapi secara batin, ibu yakin, kita sudah saling tau dan bahkan
selalu saling berkomuni kasi, meski isinya hanya praduga. Untuk itu, ibu mohon
maaf, baik atas kesalahan bapak maupun kekeliruan ibu secara pribadi “
“ Bagaimana kalau tentang hal itu
kita lu pakan saja,” pinta Bondan, yang bergegas tapi cermat, menjalankan kendaraan
yang mulai bisa merayap.
“Tapi, ada beberapa hal yang malah
tidak akan mungkin bisa saya lupakan. Jika Bondan mau tahu, saya akan
menjelaskan. Tapi, jika Bon dan tidak berminat mengetahui, ibu malah takut
menanggung dosa “
“Oh yaa ?”
“Ibu serius. Terlebih, yang akan
ibu sam paikan bukan masalah sepele. Tapi, hal yang me nurut ibu sangat
penting. “
Bondan spontan menoleh dan menatap
Sumirah sedemikian rupa. Sama sekali tidak ber maksud nakal, meski Bondan sadar
ibu tirinya memang terbilang oke punya. Cantik dan di balik kecantikan wajahnya,
ada sesuatu yang dimili kinya, karakter keibuan.
Akh, tak salah jika ayahnya
menikahi Su mirah. Meski ibu kandungnya juga cantik, Bon dan melihat jelas
perbedaan Sumirah dengan ibu kandungnya. Selain jauh lebih muda, Sumirah ti dak
menampilkan sedikit pun tipikal yang iden tik dengan ibunya. Malah, sangat ke
ibuan. Mes ki begitu, Bondan hanya berharap, Sumirah be nar-benar tipikal
wanita sholehah
Sumirah yang di saat bersamaan
sedang menatap ke arah Bondan, sama sekali tak menyangka jika perkataannya membuat Bondan
menoleh seketika dengan tatapan yang membuatnya terperangah. Meski Sumirah
tahu, di dalamnya tak ada muatan maksud apapun – terlebih nakal, tetap membuat
Sumirah tak luput dari rasa kikuk. Ma salahnya, tatapan itu. Ooh, mak. Mengingatkan
Sumirah pada almarhum pak Sadewa, suaminya, yang juga ayah kandung Bondan.
Untung Sumirah yang menyadari
situasi tak ingin momen yang paling
diharapkan beru bah menjadi hal yang tak diinginkan, berusaha untuk menjinakkan
hatinya, agar dirinya tak ber prasangka. Juga tidak mengapresiasinya dengan
keliru. Jika hal itu yang terjadi, Sumirah kuatir ia akan kehilangan peluang
yang paling di tunggu.
Bersambung…..
0 komentar:
Posting Komentar