ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doank
ENAM PULUH DUA
Itu sebabnya, menurut Sumirah, ia
tak bi sa berbuat banyak. Jangankan langung mengabar kan, membawa jenazah
pulang untuk disemayam kan saja, Sumirah tak memiliki peluang. Saat dia datang
ke rumah sakit, ketiga jenazah sudah siap dimakamkan. Sumirah hanya bisa
meneteskan se senggukan. Akhirnya ia lebih memilih turut me ngantar jenazah ke
pemakaman, timbang harus membawa pulang untuk disemayamkan, karena jenazah pak
Sadewa, Marina dan supirnya, lebih pantas secepatnya dimakamkan timbang harus
di bawa pulang ke rumah Sumirah untuk disema yamkan
Begitu pun untuk hal lainnya.
Bondan yakin, sekecil apapun tak
akan datang dan tak akan menimpa dirinya jika bukan lantaran kehendak sang
Khalik. Tapi lantaran telah diatur dan merupakah kehendak Illahi Rab bi, segala
sesuatunya harus dihadapi dan diterima dengan ikhlas. Ikhlas itu akan bermagma
di jiwa, bila mau, bisa mengerti, bisa memahami dan sanggup menerima segala
kehendak Sang Penga sih dan Penyayang,
Itu sebabnya Bondan tetap kuat, tegar
dan ia sama sekali tidak shock
Dulu, berbagai peristiwa yang menimpa
dirinya, selalu dianggap malapetaka. Bondan tak pernah bisa mengerti dan
memahaminya. Malah, pernah mengira Tuhan tidak sayang padanya. Untuk itulah ia
kecewa dan frustrasi. Larut da lam kekecewaan dan hanya melakukan hal yang
dianggapnya menyenangkan.
Kini, Bondan yang pernah merasa kecewa
dan frustrasi, justeru memahami mengapa semua bisa terjadi. Mengapa ia harus
mengalami nasib malang dan mengapa semua yang datang dan menerpa dirinya, ia hadapi
dan ia terima dengan lapang dada dan kebesaran jiwa.
Hikmah yang kemudian dapat ia petik
dari sikapnya yang berubah total dan kedewasaannya yang mulai mengental, benar-benar dahsyat. Dan Bondan tak pernah mengira jika
sesungguhnya ayahnya sangat memperhatikan dirinya. Bahkan, begitu mencintai
dirinya yang sempat merasa kecewa karena merasa tak diperhatikan oleh ayahnya.
Bondan baru tahu, jika ayahnya sangat memperhatikan setelah ia merasa
kehilangan. Malah, semua yang dimiliki ayahnya – kecuali isteri, dijadikan
sebagai milik Bondan.
Tak saja tanah dan rumah yang saat ini
ia jadikan tempat tinggal dan seluruh isinya. Ru mah yang sekarang dijadikan
tempat tinggal oleh kedua ibu tirinya, kendaraan yang ada di sana dan juga yang
lainnya, tak satu pun atas nama ayah dan kedua ibu tirinya. Sertifikat rumah,
surat-surat kendaraan, dan juga deposito, yang tercantum sebagai pemilik bukan
mereka. Tapi, Bondan.
Kenyataan yang benar-benar di luar
dugaan Bahkan, di luar jangkauan pemikiran Bondan. Ternyata, pak Sadewa,
ayahnya, sedemikian pe nuh perhatian. Boleh jadi sebagai konpensasi ka sih sayang
seorang ayah, yang selama ini mene lantarkan anaknya. Boleh jadi komitmen pak
Sa dewa, yang di satu sisi tak mampu memberi kebutuhan batiniah, tapi di sisi
lain, berusaha me menuhi kebutuhan lahiriah anaknya.
Dan, bukan cuma itu isi surat wasiat
yang sejak sepuluh tahun silam dibuat pak Sadewa. Dalam surat wasiat yang
sengaja diserahkan Sumirah kepada Bondan,
sang putra juga dijadi kan akhli waris paling utama. Dengan begitu, perusahaan yang dirintis, dibangun dan dikem bangkan
dengan susah payah oleh pak Sadewa, otomatis menjadi milik Bondan.
Bersambung……
0 komentar:
Posting Komentar