ADA PINTU DI JENDELA
oleh : Oesman Doank
DUA
Kan, lebih bego dari
Gayus Tambunan. Lebih tolol dari oknum polisi, oknum jaksa, dan oknum
hakim yang melihat ada pintu di jendela bukan menyingkirkan pintu
agar dari jendela tetap leluasa memandang dunia, eh, dari jendela
malah dipindahkan ke pintu hati. Kalau pintunya pintu hati, boleh
jadi bernurani. Tapi lantaran pintunya pintu nafsu, malah dijadikan
tempat masuk untuk bersekongkol dengan Gayus.
Entah demi uang entah
demi angan angan menghasilkan uang dengan jalan yang cuma bikin setan
senang, yang jelas mereka yang jadi oknum menanggung risiko. Tak
hanya kehilangan pekerjaan, tapi kehilangan harga diri. Reputasi pun
lenyap karena isteri dan anak-anaknya, boleh jadi dirundung malu.
*******
Bondan yang
berulang kali mengaca memang melihat wajah gantengnya. Baru
kemudian, Bondan mulai melihat satu demi satu keburukannya. Bahkan,
Bondan mampu mengurai, satu per satu, keburukan pribadi, yang
kemudian dia jelaskan pada dirinya sendiri.
“ Jika yang kamu
tanam bibit kebaikan, yang kamu panen dari usahamu bukan aku, sang
keburukan. Tapi musuhku, sang kebaikan. Bila sebaliknya yang kelak
akan kamu tuai bukan aku, tapi sang kebaikan “
Bondan
ternganga.
Baru sadar selama
ini sudah keliru. Salah jalan. Sengaja atau tanpa rencana, memang
yang dirasakan cuma nikmat dan kepuasan. Bondan terlena. Terbuai.
Tiap kali dikonkritkan, memang ia seperti bahagia dan puas.
Hanya, semuanya
seketika. Sekejap mata. Setelahnya, Bondan kembali terperangkap
dalam sunyi yang panjang. Sunyi yang membuatnya malah mengulang dan
mengulanginya. Bondan merasa seperti terperangkap di ruang gelap,
yang paling pengap. Terjebak dalam sepi yang meresahkan. Dalam resah
yang paling menggelisahkan.
Pantas Bondan
malah gelisah dan tak bisa tentram. Batinnya tak pernah tenang.
Di balik nikmat dan
kepuasan yang direguk Bondan, tak ada apapun kecuali seonggok jiwa
yang hampa dalam gulana.
Jiwa yang
kekeringan perhatian, kasih sayang dan cinta. Jiwa yang hanya di
hidupkan, dan digerakkan oleh materi, membuat Bondan tak mampu
mengerti dan memahami kalau sebenarnya dia lebih beruntung, dari
banyak anak lelaki yang tak dapat kasih sayang dan cinta, juga rak
memperoleh apa apa karena orangtuanya minggat, tak bertanggung jawab.
Apa yang harus
kulakukan agar jiwa tentram, batin tenang dan kebahagian yang
kuinginkan setelah kudapat tak lepas oleh tarikan lingkungan yang
negatif tapi malah makin pasti karena ad tarikan dari lingkungan yang
positif.
Bondan nyaris
senewen.
Bondan tak tahu
harus bicara dan bertanya pada siapa. Pasalnya, sang ibu entah di
mana.
Sejak tahu suaminya
sudah menikah dengan wanita lain, ibunya memang tak minta cerai.
Tapi, juga menolak ketika ayahnya bersedia dan siap menceraikan.
Ibunya memilih
tetap memilih terikat tali perkawinan, dan tinggal bersama Bondan.
Tapi, bukan untuk mengurus Bondan. Saat itu, Bondan hanya
dimanfaatkan agar kebutuhan hidup ibunya yang materialistis, selalu
dan tetap terpenuhi
Status mereka
memang tetap suami-isteri. Secara fisik, mereka tidak bercerai.
Tapi batin, mereka sudah terpisah. Sejak lama.
Sesekali, ayahnya
memang datang. Namun, hanya sejenak. Hanya sebatas mengantar uang
Setelah itu langsung pergi. Ayahnya, tak peduli, apakah
Bondan-putranya, akan tumbuh dan berkembang dengan teratur atau malah
ngelantur.
Malah, ketika
ayahnya tahu, ibunya bermesraan dengan lelaki lain, pak Sadewa tidak
marah. Ayahnya juga hanya tersenyum, saat tak lama berselang, ia
mengetahui isterinya sudah jarang pulang. Pak Sadewa malah meminta
agar mbok Sinem merawat Bondan dengan baik, benar dan dengan segenap
ketulusan. Sebab, beliau tak bisa mengajak Bondan tinggal bersama di
rumah salah satu dari dua orang isteri lainnya
Ayahnya memang
tak melalaikan kewajiban. Kebutuhan Bondan dan ibunya selalu
dipenuhi. Beliau tak pernah mewanti wanti sang isteri agar menjadi
ibu bagi Bondan, yang sangat membutuhkan kasih sayang.
Bondan akhrnya
memang tahu kenapa ayahnya, malah menikah dengan dua perempuan lain.
Menurut mbok Sinem, saat ekonomi ayahnya masih morat-marit, ibunya
lebih sering menjerit. Kerap kecewa, marah, dan tak henti-hentinya
mengecilkan dan menyudutkan suaminya. Ayah Bondan yang hanya
sanggup membelai isterinya dengan kemiskinan, tak pernah dihargai
terlebih dihormati
Ibunya sering
memaki, mencibir, mengecilkan.menghina dan menyebut ayahnya sebagai
lelaki yang hanya mampu memberi kepuasan batiniah. Sama sekali tak
sanggup memenuhi ke puasaan lahiriah. Menurut mbok Sinem, ika saat
itu Bondan belum lahir, mungkin mereka sudah bercerai.
Hanya, menurut
si mbok Sinem, dia sama sekali tak mengerti, mengapa sampai menikah
dengan dua wanita. Jika hanya dengan satu perempuan, mungkin karena
ingin mmebuktikan kepada ibu Bondan, jika ayahnya bisa mendapatkan
wanita yang mau dan ikhlas mengurus, merawat, menyayangi,
memperhatikan dan menyediakan suasana nyaman untuk saling berbagi.
Saling menautkan mimpi
Ingin dipijat
isteri karena capek atau lelah usai mencari nafkah. Ingin dimanja.
Ingin tenang dan damai bersama isteri yang mencintainya. Keinginan
seperti itu, selama bersama ibu Bondan hanya jadi angan. Hanya
menjadi keinginan yang mau tidak mau lebih baik dipendam timbang
diungkapkan.
Hal seperti diimpikan
oleh siapapun lelaki yang sudah jadi seorang suami, cuma jadi
kerinduan yang paling nisbi. Saat ayahnya masih dalam kemiskinan,
ibu Bondan, tak pernah mau mengurus – terlebih memperhatikan dan
mamahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan suaminya
Tak mungkin
mencurahkan kegelisahan jiwa, pada Ibu yang tak mengurus dan tak
bersahabat dengan putranya. Juga tak mungkin berkeluh kesah pada
ayah, yang datang hanya sesekali, dan kunjungannya yang hanya sesaat,
sebatas memenuhi kewajiban, memberi uang.
Bondan bukan tak
pernah mengungkap, menyoal atau menggugat. Hasilnya? Ia malah
berhenti kuliah. Bondan menganggap, droup out jadi jauh lebih nyaman
daripada harus berakrab akrab dengan buku, tapi dirinya tak akrab
dengan kasih sayang. Dia tak hiraukan meski saat itu sudah semester
kelima
Mengetahui hal
itu, Ratih, malah memilih putus dan meninggalkannya. Ratih menikah
dengan pria yang meski diakui tak dicintainya, tapi punya tanggung
jawab dan masa depan. Ratih melihat kenyataan dan berpikir
realistis. Itu sebabnya menikah dengan pria mapan yang sudah punya
masa depan. Prilakunya pu, tak seperti Bondan, yang makin lama --
dengan alasan kecewa pada orang tua, bukan memperbaiki dan jadi lebih
baik tapi malah makin berantakan
Makin akrab
dengan minuman keras. Dekat dengan wanita yang kemesraan dan dekapan
ha ngatnya hanya sebatas untuk uang. Bukan untuk hatinya yang kering
kerontang. Juga bukan untuk hal lain, yang paling didambakan. Di
setiap dekapan mereka, Bondan hanya merasakan nikmat dan kepuasan
sesaat. Bondan tak pernah merasakan ketentraman paling nyata. Semua
benar-benar hanya sesaat. Setelah itu, lenyap.
Langkah Bondan
memang keliru. Awalnya hanya pelarian. Akhirnya, jadi kebiasaan.
Karena ia merasa punya orangtua tapi tak berhak atas kasih sayang,
perhatian, dan cinta. Bondan terlempar dalam kesendirian. Hanya
dicekoki materi dan berbagai fasilitas.
Ia memang leluasa
melakukan apa pun yang diinginkan. Setiap kali Bondan mengekpresikan
kesunyian, setiap kali itulah Bondan lupa tentang luka yang menganga
di jiwanya. Luka yang kembali dan kembali menghempaskannya ke ruang
sunyi, sunyi yang mengoyak hati
Padahal jika ia
berpikir ingin kembali kuliah, pak Sadewa memang sering menyarankan.
Bahkan, ayahnya senang jika putrinya kuliah di luar negeri. Boleh ke
Amerika atau Australi. Boleh ke negara mana saja, asalkan memang
kuliah dan menuntaskan pendidikan tingginya
Bondan bukan
tak ingat, karena di balik itu pun pernah menggugat.
Hasilnya?
Hanya tanda tanya tanpa jawab.
Menjenuhkan .
Membuatnya
frustrasi
Membuat Bondan
terjebak ke sebuah situasi, dan langkahnya jadi tanpa kendali.
Meski Bondan masih bisa tersenyum manis tapi nasibnya begitu miris
Bersambung.......
0 komentar:
Posting Komentar