ADA PINTU DI JENDELA
oleh: Oesman Doank
oleh: Oesman Doank
DUA
BELAS
(4)
BARU
kali ini pak Sadewa merasa berada dalam posisi bingung. Biasanya,
setelah dapat kabar dari mbok Sinem, ia tak pernah bi ngung. Terlebih
dibingungkan oleh keadaan. Sebab, ia selalu bisa dan leluasa
mengkondisikan keadaan Setiap mengatakan tak bisa datang, ia
langsung transfer. Selesai mentransfer uang yang bisa dilakukan
kapan dan dimana saja, ia sudah bisa kembali fokus ke urusan
bisnisnya. Ia tak pernah bertanya, apakah mbok Sinem benar atau dusta
atau hanya mengada-ada
Kali ini,
pak Sadewa justeru merasa bingung. Terlebih, ia sedang di mobil,
membawa, menjaga, dan mengantar Marina, isteri ketiganya. Bukan
kehotel atau tempat wisata. Dan bukan untuk bersenang-senang Tapi ke
rumah sakit bersalin terdekat. Ia bingung karena sejak berangkat dari
rumah, Marina terus mengeluh.
Di saat
seperti itu, mbok Sinem malah mengabarkan Bondan sedang sakit.
Padahal dia sendiri, sedang sibuk mengawasi, menjaga dan terus
membujuk sang isteri yang tak berhenti mengeluh sakit sambil tak
henti-hentinya ngelus-elus perutnya. Kabar dari si mbok dan rintihan
isterinya yang merasa kesakitan sejak mereka berangkat dari rumah,
membuat pak Sadewa jadi pening. Stress
Sopirnya,
yang biasa bisa bawa mobil dengan tenang, melihat pak Sadewa resah di
dalam mobil, malah jadi gugup.
“Larinya, cukup seperti ini atau saya harus percepat lagi, boss?”
“ Yaa,
harus cepat, bodoh. Tapi, tetap hati-hati. Awas, kamu kalau sampai
celaka,” bentak pak Sadewa
Ia
pantas jadi emosional, karena supir nya malah harus minta ijin hanya
untuk cepat atau tidak cepat melarikan mobil. Bukankah ia supir dan
lebih tahu kapan lari cepat atau sebalik nya?
Pak
Sadewa tak berpikir panjang atau malah tak tahu atau tak ingat,
supirnya, yang jika dibentak, malah makin grogi. Bukan bisa cepat
mengendalikan diri dan mengantisipasi situasi. Sang supir yang biasa
taat aturan lalu lintas, tak segera menyalakan lampu sein, meski tak
jauh lagi harus berbelok .
“
Nyalakan lampu seinnya, bodoh. Langsung rapat ke kiri karena di
belokan yang sudah dekat itu, kita harus belok ke kiri “
“
Si..siap, pak !”
Bukan siap
dalam arti sebenarnya. Sebab, yang kemudian dilakukan, bukan nyalakan
lampu sein. Sutarman, malah memencet klakson. Membuat pak Sadewa
terperanjat. Emosinya, kian menguat. .
“Bukan
klakson, Tarmaaan. Tapi lampu sen !” Pak Sadewa kembali membentak
“
I..i..iya, pak “
Tarman
berusaha menyalakan lampu sein. Tapi, karena kaget, meski bisa
menyalakan lampu sein, kakinya yang gemetar, spontan bergerak dan
menginjak rem, sekuatnya. Sampai habis. Sedan yang semula melaju
dengan kecepatan agak tinggi, seketika itu juga, terhenti.
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar