ADA PINTU DI JENDELA
oleh:
Oesman Doank
EMPAT BELAS
Raungan sirene
ambulan yang memekakkan telinga, entah sekedar menyuarakan permintaan
agar diberi keleluasaan untuk melaju dengan kencang, atau sekaligus
menyuarakan duka cita, tak lama kemudian menghilang.
Massa yang berkerumun tak ada yang ingin berkomentar.
Evakuasi berlangsung lancar dan berjalan dengan cepat.
Seperti halnya ketiga mobil ambulan, yang dengan begitu cepat
bergerak beriringan. Entah menuju rumah sakit terjauh atau rumah
sakit terdekat . Yang jelas, mereka hanya bisa memandang. Setelah
ambulan lenyap dari pandangan mata, massa -satu persatu, meninggalkan
lokasi kejadian.
Dua petugas polantas nampak sibuk melaksanakan tugas. Mengatur
kembali agar ke macetan segera teratasi. Seorang lagi, sibuk ber
komunikasi, sampai akhirnya, ia memberi aba-aba pada pengemudi mobil
derek agar leluasa me laksanakan tugasnya. Membawa mobil sedan me wah
yang rusak berat ke kantor polisi. Dan mobil boks besar, yang juga
diderek ke tempat yang sama.
Bondan terbangun. Kondisi tubuhnya belum pulih. Jauh dari segar.
Memang sangat ken tara, jika Bondan masih lemas. Tapi suhu tubuh nya
sudah berubah. Tidak lagi panas, seperti sebelum dikompres. Bondan
baru ingin memang gil mbok Sinem. Tapi, saat ia menoleh ke pintu
kamar, matanya menangkap sosok mbok Sinem, yang pantatnya terduduk di
lantai, kepalanya tersandar ke tempat tidur Bondan.
Bondan membatalkan niat, memanggil mbok Sinem. Meski tubuhnya masih
terasa le mas, Bondan meraih bantal. Dan perlahan ia menggerakkan
tubuhnya ke tepian ranjang. Dengan sangat hati-hati, Bondan meraih
bahu mbok Si nem. Meski perlahan, ia bisa menarik tubuh si mbok, yang
sedemikian lelap. Bondan melihat ruang yang cukup, untuk menempatkan
batal empuk ke sisi bagian bawah ranjangnya.
Bondan
sempat terengah-engah. Tapi, kepala si mbok sudah bersandar ke bantal
empuk. Membuatnya lega. Terlebih, mbok Sinem terlihat sangat letih.
Begitu lelapnya, hingga tak terbangun saat Bondan mengangkatnya.
Bondan menatap sejenak wajah mbok Sinem yang terus lelap karena lelah
menjaga dan mengurusnya.
Bondan
melihat jam tangannya. Ia terpana. Hampir jam enam. Sudah jelang
maghrib. Bondan menguatkan diri, melangkah ke kamar mandi. Meski
perlahan, ia bisa melangkah ke kamar mandi. Tapi, niatnya masuk
terhambat. Ia mendengar jelas suara, si mbok.
“ Deeeen…
Maaf…mbok tertidur. Biar si mbok membantu memapah”
Bondan menoleh.
Melihat si mbok bergegas berdiri. Meletakkan bantal ke ranjang nya.
Menghampiri Bondan dengan tergesa. Tapi, Bondan menolak keinginan
mbok Sinem, yang ingin membantu memapahnya ke dalam kamar mandi yang
hanya tiga meter dari ranjangnya
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar