ADA PINTU DI JENDELA
oleh : Oesman Doank
EMPAT
“ Lho, memang
ada apa dengan Bondan ?” Tanya Heri Gondrong
“ Ada apa? Den
Bondan tuh sakit, kok, malah nanya ada apa?”
“Yang benar,
mbok ?” Gito jadi sulit untuk tidak percaya.
“ Kok, saya
mengatakan yang benar, malah tidak dipercaya? Memangnya,
mentang-mentang saya cuma pembantu, malah lebih pantas untuk tidak
dipercaya? “ Mbok Sinem, bisa memperli hatkan sikapnya yang
tersinggung
“ Bukan begitu,
mbok. Kita cuma kepingin tahu, mengapa sudah lebih dua bulan Bondan
tak pernah mau kumpul lagi sama kita,” Marbun mencoba menenangkan
mbok Sinem.
“ Den Bondan
bukan tidak mau kumpul, mas. Juga bukan tidak mau gaul. Yang harus di
dahului oleh setiap orang sakit, tuh, bukan kumpul atau gaul, mas.
Tapi, harus disiplin mengikuti saran dan anjuran dokter. Jadi,
selain harus banyak istirahat den Bondan juga harus bersedia dirawat.
“
“ Jadi,
sekarang Bondan sedang istirahat, ya, mbok?” Tanya Doni.
“ Yaa, iya lah.
Masa’ orang sakit malah kelayapan, malah ke pub !”
Doni berusaha
membujuk agar diizinkan menemui Bondan. Doni langsung mencolek bahu
mbok Sinem dengan gaya yang memang sangat sok akrab. Sok supel.
Doni memang tengah berusaha meluluhkan hati mbok Sinem. Doni yakin,
ia bisa membujuk. Hanya, Doni tidak tahu, jika mbok Sinem tahu, Doni
berusaha membujuk dan melulukannya
“ Si mbok bisa
aja, deh. Sekarang, boleh dong, kalau kita masuk. Kan kalau kita bisa
segera ketemu dan bisa langsung membezuk Bondan, kita bisa menghibur
dan memberi semangat agar Bondan cepat sembuh dari penyakit yang
dideritanya ”
“Kalau memang
mau masuk, silahkan. Tapi, “ sahut mbok Sinem yang sadar tengah
memainkan peran dan untuk itu ia tak melanjuitkan kalimatnya
“ Jangan pakai
tapi, dong, mbok ?” Sergah Doni sambil kembali mencolek bahu mbok
Si nem, dan melirik ke rekan rekannya. Doni meng isyaratkan ke teman
lainnya, kalau ia akan berhasil membujuk mbok Sinem. Tentu saja
dengan sangat yakin. Heri Gondrong dan yang lainnya membalas memberi
isyarat sambil tersenyum.
“ Harus pakai,
mas. Soalnya, yang bisa saya lakukan, cuma sebatas menyuguhkan
minuman atau makanan. Saya tak bisa memanggil dan meminta den Bondan
ke luar dari kamarnya “
“ Nggak
apa-apa, mbok. Toh, kita tak hanya bersedia tapi juga bisa masuk ke
kamarnya. Kan, mbok tahu kita juga biasa kumpul dan nginap di kamar
Bondan ?” Doni semakin optimis
“ Iya, mbok. Lagi
pula, si mbok nggak usah repot-repot menjamu kita. Kita, kan, kalau
mau minum atau mau makan, bisa ambil sendiri. Lagipula, kita tidak
mau ngerepotin si mbok, kok, “ Gito ikut mencoba meyakinkan
“Yaa, silahkan
saja mas semua masuk ke dalam. Cuma, jangan harap bisa ketemu den
Bondan. “
“Jangan gitu,
dong, mbok. Apa sih, susah nya bilang kalau kita datang dan mau bezuk
Bondan di kamarnya? “
“ Kalau sebatas
bilang begitu sama den Bondan, tak masalah, mas. Cuma, bagaimana
bilang nya jika sejak sebulan lalu, den Bondan dibawa dan dirawat di
rumah sakit di Singapura “
“ Kita kok, jadi
nggak ngerti, mbok ?”
“ Iya, mbok.
Apa, sih, maksud si Mbok ?”
“Mas…dengar,
yaa. Sebenarnya, den Bondan tuh sudah sejak lama mengidap penyakit
gawat. Tapi, baru ketahuan belakangan. Dua bulan lalu, saat den
Bondan cek-ap, malah diminta masuk ruang inap Rumah Sakit Pertamina.
Dua minggu dirawat
di sana sama sekali tak ada perubahan. Karena tak juga sembuh,
majikan saya, membawa den Bondan berobat ke Singapura. Kalau memang
mau besuk, yaa, mas harus berangkat ke Singapura. “
“ Oh alaaaah, si
mbok ini piyee, toh. Mestinya, bilang dari pertama kali kita datang,
dong. Jadi, kita nggak penasaran. Nggak kecewa, “ Sentak Marbun
Tapi ia tak bisa
ngejitak mbok Sinem, meski kepingin banget ngejitak sang pembantu tua
yang mendadak jadi sosok paling menyebalkan
“ Mbok..mbok…
kalau ada duit, daripada buat besuk Bondan yang dirawat di Singapura,
kan lebih baik kita beliin minuman “ Doni mulai kelihatan aslinya,
nyeleneh.
“ Iya, mbok.
Teler tuh lebih enak, tau “ Kata Gito, yang langsung membalikkan
tubuh dan ninggalin si Mbok.
“ Mbok, lain
kali, langsung kabarkan. Jangan ajak kita ngider ngalor ngidul nggak
karuan. Ngerti?” Heri Gondrong bukan tidak emosi. Ta pi, dia hanya
mampu memberi peringatan
Mbok Sinem tak
kepingin menepis atau menangkis. Si mbok sengaja tak mau mau
menggubris. Bukan tak ingin. Tapi, tak ingin ketahuan telah
berbohong. Si mbok Sinem juga tak hendak berbasa basi, dengan
berpura pura mencegah teman teman den Bondan pergi agar mereka tidak
merasa kecewa. Mbok Sinem yang tahu mereka kecewa, tak menyoal anak
anak muda itu pergi tanpa bilang. Padahal, saat datang mereka
mengucap salam.
Si mbok Sinem baru
beranjak ke dalam rumah setelah mereka masuk ke mobil dan sejenak
kemudian sudah hilang dari pandang
Mbok Sinem segera
masuk untuk melaporkan keberhasilan misinya.
Bondan tak bisa
menahan tawa.
Melihat anak
majikannya terbahak bahak, tentu saja si Mbok Sinem jadi senang.
Cuma, mbok Sinem tidak kepingin ikut terbahak. Serasa tak pantas jika
mbok Sinem memanfaatkan situasi untuk ikut ikutan ngakak. Tapi senyum
si mbok Sinem tak juga hilang.
“Den,si mbok mau
pamit ke dapur dulu, den “
“Astaghfirullah
Hal Adziem. Sorri, yaa, mbok. Saya jadi lupa sama si mbok. Oh iya,
terima kasih yaa mbok,” Bondan yang tersadar merasa tidak enak sama
si mbok.
Tentu lebih tak enak
enak jika malah lupa memberi bonus.
Bondan merogoh
dompet. Senyum mbok Sinem kian sumringah saat tujuh lembar ratusan
ribu disodorkan ke arahnya.
“ Besok saya
tambahin, supaya jadi genap sejuta “
“ Segini aja lebih
dari cukup, den “
“ Pokoknya, besok
harus saya tambah. Kalau saya lupa, si mbok harus ingetin saya. Oke
?”
“ Trima kasih,
den. Terima kasih “
Bersambung......
0 komentar:
Posting Komentar