ADA PINTU DI JENDELA
oleh : Oesman Doank
SATU
Prilaku buruk yang
semakin mewabah, jauh lebih membahayakan dari penyakit kanker, atau
dari jenis penyakit ganas lainnya. yang dianggap paling membahayakan.
Lihat saja,
misalnya, suporter sepakbola. Mereka tak rela jika tim
kesayangannya kalah bertanding dengan tim lawan. Padahal, setiap
pertandingan, hasilnya ya, bisa kalah atau malah menang. Malah di
babak final, jika skor seri ujungnya pasti adu pinalti. Jadi, layak
jika ada yang kalah dan tak layak jika keduanya dinyatakan menang.
Seperti halnya
Ghana, yang dilibas Paraguay dalam adu pinalti.Mereka rela menerima
kekala han, ikhlas pulang kandang dan sama sekali tak merasa sebagai
pecundang. Toh, mereka sudah berjuang di even dunia. Kalah pun tetap
senang.
Tapi sangat beda
dengan di Indonesia. Ketika tim favorit bonek, Jakmania, atau
Persita di taklukkan tim lawan, para suporter tak ikhlas menerima
kekalahan. Mereka rela mendadak jadi banteng ketaton yang siap
menyeruduk siap menanduk. Lebih siap ngamuk dan letupkan amarah,
timbang berlapang dada dan meredam emosi, hanya karena fanatisme
terhadap tim idola begitu tinggi. Padahal, setinggi tingginya
fanatisme, sepokbala adalah permainan kalah menang. Setiap yang
menang pasti pernah kalah, dan yang pernah kalah satu ketika bisa
menang
Suporter lebih siap
memamerkan tindakan yang membabi dan membanteng buta. Tidak hanya
sanggup merusak fasilitas umum yang dibangun oleh pemerintah dari
dana APBD dan AP B`N, tapi juga sangat siap perang tanding dengan
suporter lawan. Padahal, pihak pihak yang bisa berseteru secara
mendadak lantaran membela tim kesayangan, sesama anak bangsa. Anak
anak Indonesia juga. Mereka gak cuma rela benjut dihajar musuh. Tapi,
berani dan rela mati, demi kesebelasan kesayangannya.
Jika terus dan
selalu seperti ini, kan aneh. Masa, cuma lantaran tim kalah, ada yang
harus berdarah darah
Nah, di mana tidak
anehnya?
Prilaku buruk juga
tumbuh dan berkembang di kalangan pelajar dan mahasiswa. Tujuan
utama, menuntut ilmu, rela diabaikan. Demi hobi terbaru yang dianggap
relevan dengan perkembangan zaman, bukan lagi ilmu dan kebajikan yang
diutamakan dan ditumbuh-kembangkan
Tapi, justru budaya
tawuran. Saling gasak, saling gebrak, saling tendang, saling jitak,
saling merangsek, saling lempar batu, dan saling saling lain pertanda
sudah sulit eling.
Tas tak lagi jadi
tempat untuk buku dan alat tulis. Tapi, untuk j menyimpan pisau,
mister kapak dan senjata lainnya yang sengaja disiapkan untuk
memperindah tawuran yang diinginkan. Senjata-senjata
digunakan untuk satu tujuan yang sesungguhnya saling mengancam
keselamatan. Padahall, agama mengajarkan untuk saling sayang. Bukan
untuk saling mencelakakan.
Hal yang di tahun
enam puluh sampai tujuh puluhan tak pernah terjadi, kini malah jadi
berita sehari hari, di media cetak maupun di media elektronik
bernama pop : televisi
Masyarakat semakin
prihatin karena dampak negatif prilaku buruk tumbuh dan terus berkem
bang. Seperti tak terkendali atau memang tak bisa lagi dikendalikan.
Akhirnya, masyarakat hanya bisa mengurut dada. Nelangsa tak berdaya.
Tak mampu mengatasi. Pemerintah seperti melakukan pembiaran.
Artinya, fenomena yang muncul di kalangan masyarakat, tak segera
diantisipasi dan tidak segera dicarikan solusi agar hal yang
menggelisahkan itu, tak ada lagi atau terlupakan karena aparat
memiliki kemampuan mencegah sejak dini dan setelahnya tak akan pernah
lagi terjadi.
Prilaku buruk
berjangkit dan menjalar ke mana-mana. Lebih dari penyakit yang tak
bisa disembuhkan, karena ahli kesehatan paling ternama sekalipun,
tak mampu menciptakan formulasi yang tepat untuk dijadikan obat agar
penyakit tawuran, penyakit korupsi, penyakit a sosial lainnya koit
secepatnya dan pejabat atau rakyat biasa , langsung sembuh, sadar
dan kembali ke jati diri sebagai manusia Indonesia, yang setelah
kemerdekaan dikumadangkan ke penjuru dunia, berkewajiban membangun
Indonesia untuk rakyat – dan bukan untuk kesejahteraan para pejabat
semata
Prilaku buruk,
tiap kali berjangkit di satu tempat, dalam waktu relatif singkat,
sudah menjalar ke wilayah lain. Begitu cepatnya menyebar dan
sekaligus mengancam keselamatan siapa saja. Virus ganas dan
mematikan, tak terhalau oleh canggihnya, ilmu kedokteran dan
kefarmasian. Tak terbendung oleh kekuatan dan kekuasaan politik
karena para politisi lebih hobi berkreasi untuk meraih materi dan
untuk membangun prilaku buruk itu sendiri
Banyak yang
bilang, fenomena yang mengkhawatirkan itu, bermunculan karena
ketauladanan sudah menghilang. Lenyapnya entah ditelan kemunafikan
religius entah gejolak duniawi yang memang kian mampu membius. Juga
tak diketahui dengan pasti, apakah lenyapnya karena ditelan bumi atau
ditelan oleh kekuasaan yang arogan. Sepertinya, tak ada lagi cara
baik untuk mendapatkan solusi maupun mengantisipasi.
Menurut para
pakar, pengamat, pemimpin yang mestinya jadi idola, telah raib, entah
ditelan oleh mahluk bernama apa. Ketauladanan sepertinya sudah pupus
dengan sendirinya. Tergerus oleh arus yang memberangus kepribadian,
kejujuran dan sekaligus ketauladanan itu sendiri.
Kalaupun pemimpin
itu ada, hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tindak
tanduk dan kiprah kepemimpinannya, langsung menyempit ke pribadi dan
kelompok dan tak pernah meluas ke semua rakyat. Tak berimbas pada
tumbuh dan berkembangnya kesejahteraan rakyat. Tapi sebatas hinggap
di kalangan pribadi dan kelompok. Sebatas kepentingan sesaat.
Selebihnya, tindakan dan kiprah para elite justru menyengsarakan
rakyat.
Perubahan, sulit
diharapkan, karena bersama kiprahnya para elite tetap mengusung
ambisi pri badi dan kelompok. Yang kemudian bermunculan cuma sebatas
keserakahan, egoisme kekuasaan yang diselewengkan dan kemunafikan
religius
Benarkah karena
pemimpin sudah tak lagi menyimpan dan menyisakan ketauladanan? En
tahlah. Yang jelas, realitas hidup dan kehidupan semakin tak terjaga.
Jika sebaliknya, tak akan muncul Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab,
Indonesia sudah lama mendirikan lembaga bernama kejaksaan dan
kepolisian.
Tak heran jika
Gayus yang hanya staf dan baru lima tahun bekerja, bisa cepat kaya
raya. Atasannya yang sudah lama bekerja dan dengan ketinggian
pangkatnya, boleh jadi, bisa lebih Gayus dari Gayus? Dan, gayus tak
cuma ada di instansi pajak saja. Di Bea cukai dan instansi
pemerintah lain nya, juga banyak Gayusnya.
Soalnya, budaya
korup bukan baru berkembang belakangan. Tapi, sejak era orba. Jadi,
bila metode pembuktian terbalik diberlakukan, tak bakal ada lagi yang
percaya, jika seorang pns bisa hidup mewah dan dengan harta yang ber
limpah ruah. Meski pun tugasnya di instansi pajak atau pun bea cukai,
yang sangat dikenal sebagai tempat paling basah
“Huuuh..jadi
pns bukan memuliakan martabat, malah ngerampok uang negara dan
membuat rakyat sengsara?”
Bondan yang
menikmati dialog tentang In donesia di salah satu teve swasta, mulai
kesal dan hanya bisa menggerutu. Dia segera mematikan pesawat tv
yang belakangan memang semakin gencar mengurai berbagai masalah
tentang Indonesia, yang ternyata, dipenuhi oleh manusia, yang dari
wajahnya seperti malaikat tapi yang menggeliat di hatinya, justeru
hawa naf su merampok uang rakyat
Tapi, Bondan tak
mau lagi berpikir tentang hal itu Nggak mau lagi mikirin soal polisi,
jaksa dan hakim, yang diberi amanah mulia, menangani kasus Gayus,
malah diselewengkan untuk ke pentingan pribadi dan kelompok.
Terlebih, diri nya sendiri bukan termasuk orang bersih
Memang, Bondan
merasa tidak lebih buruk dari para koruptor. Tapi, ia bukan orang
suci. Bukan malaikat. Prilakunya juga buruk. Bukan koruptor tapi suka
teller.Bukan markus dan tidak berkomplot dengan mafia hukum, tapi
suka tawuran, sering ngencanin abg dan main judi. Bu kan raja pungli,
tapi suka malakin para pedagang di terminal
Prilaku buruk
Bondan memang tidak merugikan negara. Makanya Bondan merasa lebih
pantas bercermin sendiri dan untuk dirinya sendiri, timbang menyesali
kebobrokan di luar dirinya. Bondan lebih tertarik menginventarisir
berbagai keburukan pribadi nya, timbang menelaah dan mengkaji prilaku
buruk orang lain. Masa’ kuman di ujung samudra atlantik kelihatan,
kerbau yang berduka karena mau dipotong dan ada di pelupuk mata,
tidak kelihatan?
Bersambung.......
0 komentar:
Posting Komentar