ADA
PINTU DI JENDELA
oleh : Oesman Doank
DUA PULUH DUA
“Mau benar
boss, kek. Mau bukan, kek, yang penting, di mata saya, penumpang
adalah boss. Oh iya, boss belum bilang, nih, mau kemana. Kalau nanti
saya ke kiri nggak taunya tujuan boss ke kanan, kan, repot, boss “
“Gue sendiri
nggak tau nii, mau ke mana?” Bondan menyahut tanpa berpraduga
apa-apa. Ia memang belum tau mau pergi ke daerah mana
Untung, tukang
ojek belum merubah stan dar motornya. Bondan jadi tidak jatuh bersama
motor atau harus menahan keseimbangan agar ti dak terjungkal bersama
motor. Soalnya, tukang ojek yang kayaknya belum dapat penumpang,
langsung turun. Ia tak hanya mendadak kesal de ngan jawaban Bondan.
Tapi, juga, curiga.
Tak salah.
Sebab, ia memang harus was pada. Meski di siang hari, bisa saja
penumpang nya yang kini duduk di jok motornya, bukan war ga negara
tauladan. Tapi, warga negara berjiwa edan, yang demi uang, siap
mencari korban dari kalangan pengojek.
Bukan
berprasangka. Tapi, sudah begitu banyak peristiwa menghebohkan,yang
terjadi di kalangan pengojek. Dan aksi mereka, tak sebatas melarikan
motor pengojek. Jika perlu, demi me lancarkan usahanya, menganiaya
atau membu nuh tukang ojek.
“ Kenapa si
abang kayaknya sewot ?” Ta nya Bondan, yang tentu saja kaget karena
tukang ojek langsung turun dari motornya
“ Jelas
marah dong?! Saya, kan, tanya ba ik-baik, kita mau kemana?
Ngejawabnya malah nggak tau mau ke mana. Niat kamu, mencuriga kan,
tahu ?” Sahut si tukang ojek, yang lantaran curiga menjawab dengan
sewot.
Suaranya yang
lantang, terdengar rekan-rekannya dan membuat mereka bergegas meng
hampiri. Tentu saja ingin tahu apa yang sesung guhnya sedang dan akan
terjadi
Jika Bondan
tidak peka, boleh jadi mela hirkan kesalah-pahaman. Untung, Bondan
menya dari dan ia tahu apa yang harus segera diperbuat. Ia segera
mengeluarkan uang dari sakunya. Sebe narnya, tak sengaja, dan ia tak
bermaksud mema merkan kertas merah yang nyaris sulit digeng gam oleh
tangannya. Tapi, karena ia biasa pe gang uang banyak, tak masalah.
Bondan hanya
segera mencabut lima lem bar ratusan ribu dengan tangan kanannya.
“Sorri….gue
bukan penjahat. Sekarang, bawa gue keliling ke pinggiran Jakarta. Nih
buat elu, bang. Kalau kurang, nanti lu tinggal minta. Ayo, jalan. Oh
iya, gue mau nyari rumah kontra kan di komplek perumahan. Jadi, bawa
gue ke komplek perumahan yang udeh lu tau tempat nya. Di sana, kita
cari rumah yang dikontrak atau yang dijual. Begitu cocok, lu bawa
lagi gue ke sini. Oke?”
Kalau saja si
tukang ojek yang helmnya masih bersarang di kepala Bondan, tidak
mikir cari uang lebih sulit dari menghitung butiran be ras sekarung,
dia pasti gak peduli, lantaran terlan jur malu. Terlebih, beberapa
temannya, spontan berminat merebut rezeki yang sudah di depan
matanya.
“Kalu si
Sabar kagak mau, pake ojek saya aja, boss,” samber tukang ojek yang
punggung jaketnye ada tulisan ganyang koruptor
“ Kalau
segitu ongkosnye, sama saya aja, boss. Sampai besok juga saya siap,
nganterin, ” kata yang satunya lagi, yang usai menawarkan diri,
langsung berdoa dalam hati. Hanya, Bon dan dan para tukang ojek
lainnya, sama sekali tak mendengar denger doanya yang terucap da lam
hati, dan didawamkan dengan sangat khu suk.
“Tuhan…tolong
bikin si sabar linglung dan emosi. Biar penumpangnya naik ojek saya
saja. Soalnya, bayarannya setengah juta. Tolong saya Tuhan. Sampai
saat ini, saya belum bisa ngelunasin kreditan motor “
Doa si tukang
ojek yang pakai kaos Jack mania, bukan tak didengar Tuhan. Hanya,
Sabar, si tukang ojek yang terlalu curiga karena me mang banyak
kejahatan yang mengancam kesela matan para pengojek, sadar. Ia lebih
siap mem buang malu dan mengakui kebegoannya.
0 komentar:
Posting Komentar