ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doank
DUA PULUH SEMBILAN
Suara tangisan Bondan lebih keras
dari Sabar. Beberapa pelayan spontan menoleh, ke meja 13. Meja tamu mereka,
yang belum pesan hidangan tapi sudah pada menangis. Tapi, mereka tak berani
mendekat. Hanya sa ling bisik-bisik. Dan satu sama lain saling tanya sekaligus
saling jawab, dengan bahasa tubuh. Artinya, sama-sama ti dak tahu.
Bukan berarti mereka harus terus
menerus tidak ta hu. Toh, akhirnya mereka memang harus tahu. Setelah tamunya
yang duduk di meja nomor 13, mengajukan pesanan, mereka harus segera mengisi dengan berbagai hidangan, lengkap dengan
minuman yang di pesan.
Sedangkan yang tadi dan sekarang me
reka lihat, tak perlu serius diperhatikan. Itu bu kan urusan manajemen rumah
makan. Toh, tak ada larangan untuk menangis dan cekakakan. Ja dii, saat mereka
melihat Bondan dan Sabar yang sudah tidak sesenggukan, menikmati hidangan
dengan lahap sambil sesekali tertawa lebar, tak ada kewajiban bagi pelayan untuk
segera memanggil petugas security.
Nanti, setelah puas dan mereka
pergi da ri rumah makan tanpa bersedia membayar, baru manajemen rumah makan
sangat berhak untuk bersikap dan mengambil tindakan. Bahkan, setegas-tegasnya.
Kalau perlu—jika terbukti ti dak bayar, bisa langsung ngeroyok. Setelah babak
belur, baru mereka giring ke kantor polisi.
Toh, tinggal buat laporan resmi.
Bilang saja me reka preman, yang rakus saat makan tapi setelah kenyang bukan
segera bayar malah maksa minta ongkos buat pu lang. Kan, beres. Paling, korban
seratus ribu buat kasih uang rokok.
Nyatanya? Toh, seperti biasa. Tak
ada masalah. Tamunya, bayar. Malah, petugas di bagian kasir, sempat dua kali
tercengang. Per tama, saat bilang plus pesanan terakhir yang bungkusannya sudah
dijinjing Sabar, totalnya tiga ratus lima puluh ribu rupiah, Bondan malah
langsung komentar
“ Saya kira sampai sejuta. Nggak
tahunya cuma tigatus lima puluh ribu. Nih mbak, uangnya, “ kata Sabar sambil
menyodorkan empat lembar ratusan ribu
Kedua, saat ingin menyerahkan uang
kembalian setelah ia menerima empat ratus ribu rupiah dari tamu yang tadi duduk
di meja nomor 13, ia mendengar jelas, tamunya bilang.
“Ambil saja buat mbak. Dan ini, “
katanya kemudian sambil menyerahkan dua lembar ratusan ribu, “ Bagi buat empat
orang teman mbak. Sebab, tadi mereka
melayani deng an baik, dan tak mentertawakan kami, ketika ka mi asyik menangis
”
Untung, tadi mereka bersikap
profesio nal dan proporsional. Jika gegabah dan sampai menimbulkan kesan tidak
mengenakkan pada tamunya, kan yang mereka peroleh bukan uang tip yang jumlahnya
lumayan besar. Tapi, klaim dari tamu yang duduk di meja nomor 13.
“Alas kakinya memang cuma sandal
jepit. Tapi isi kantongnya, tebalnya selangit , “ kata pelayan berjidat agak
nongnong
“ Hebat tuh, orang. Oom Ferdy saja,
sekalinya ngasih tip lima puluh ribu, eh, nyuruh dibagi rata buat berlima.
Padahal, tiap datang, mobil mewahnya selalu beda,” ujar temannya.
“ Yee, uang tip udeh langsung gue
se rahin, bukan cepet beresin malah ngerumpi. Lain kali, gue tahan sampai akhir
bulan, baru nyaho, lu “
0 komentar:
Posting Komentar