ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doank
TIGA PULUH ENAM
Bondan malah kelihatan kesal. Soalnya Sabar makin asyik sesenggukan.
Nggak mau ce pat-cepat ambil helm yang disodorkan Bondan, dan juga nggak kasih
jawaban. Bondan menaruh helm di dekat kaki Sabar.
“ Yaa, sudah. Kalau begitu gue
langsung pulang saja,” Bondan sudah ambil keputusan dan dia langsung bergerak.
Sabar baru ngeh, baru sadar, kalau
Bon dan sudah bergerak. Langkahnya, memang begi tu santai. Tanpa beban. Tanpa
kepingin tahu, me ngapa Sabar, yang langsung diajak ke rumah sa kit, malah
turun dari motor, bersandar di pohon tepi jalan dan sesenggukan.
“Boooossss ?” Sabar berteriak.
Memanggil Bondan dengan suara yang
jelas dide ngar. Ia lakukan itu, bukan takut ditinggalkan. Bukan kuatir Bondan
langsung manggil taksi dan pulang ke rumahnya dengan begitu saja. Sabar takut
berdosa. Takut mengecewakan si boss yang kebaikannya begitu tulus, tanpa
rencana dan bisa dibilang lebih dari air yang mengalir.
Bondan mendengar teriakan Sabar
yang memang gilnya. Ia menoleh, melihat Sabar yang berlari, bergegas
menghampirinya sambil berte riak.
“ Saya nggak nolak, nggak
melarang, saya malah senang. Sekarang juga kita langsung berangkat ke rumah
sakit, boss”
Begitu mendekat, Sabar
mengangsurkan helm ke Bondan, dan ia duluan ke motor. Menstarter. Siap
meluncur. Membawa Bondan. Bukan ke pangkalan. Tapi ke rumah sakit, memenuhi
permintaan Bondan.
“ Silahkan, naik, boss,“ Sabar terpaksa
berinisiatif menawarkan. Ia takut Bondan batal kan niat karena tak segera naik
tapi malah keli hatan kesal
“Lu ikhlas nggak ngajak gue ke
rumah sakit ?”
“ Demi Allah, saya ikhlas, boss
“
“ Lu nggak usah pakai sumpah
segala, deh. Nggak usah niru-niru pejabat, yang berani sumpah tapi malah berani
korupsi, yang berani disumpah, tapi lebih berani ngebohongin rakyat. Gue kesal,
tau. Bukan sama pejabat. Tapi, sama lu. Di tempat umum, malah mewek
sesenggukan. Memangnya, salah, kalau gue bilang mau bezuk isteri lu di rumah
sakit ?”
Sabar kepingin banget
ngejelasin semu anya. Agar boss ngerti, paham. Tapi, Bondan ma lah bergegas
naik ke motor. Memberi intruksi yang nggak mungkin bisa ditolak oleh Sabar
“ Cepat lu jalan. Awas lu yaa,
sekali la gi nangis di depan umum, kagak bakalan lagi gue mau pakai ojek lu “
Mau nggak mau Sabar harus nahan
ke inginan menjelaskan, mengapa ia menangis. Me ngapa ia mendadak berada di
puncak keharuan.
“Hati-hati…Ingat, gue mau bezuk orang
melahirkan di rumah sakit, bukan mau jadi pasien rumah sakit. Lu ngerti, kan? “
“Pasti ngerti, boss. Si boss
tenang aja. Allah pasti melindungi kita “
Sabar cepat menyahut. Ia
segera me luncur. Menyalakan sein bagian kanan. Ia tidak jadi berbelok ke kiri,
karena tujuan sudah beru bah arah. Buka ke pangkalan ojek. Tapi, ke ru mah
sakit. Membezuk isterinya
Meski Sabar harus membatalkan dua rencana
yang sudah disusunnya, ia malah bisa te rus tersenyum. Sepanjang jalan, ia
konsentrasi. Ia bawa motor, bawa si boss, bersama kebahagi aannya. Hanya, ia
belum menyusun rencana lain, untuk isterinya. Tapi, jika isterinya menanyakan
darimana ia dapat uang sebesar setengah juta ru piah, Sabar akan menjawab apa
adanya. Seperti air mengalir.
******
Bersambung…..
0 komentar:
Posting Komentar