ADA PINTU
DI JENDELA
oleh : Oesman Doank
DUA PULUH TUJUH
Timbang
habis seratus ribu untuk sekali makan, lebih baik dan lebih berani
nahan lapar Duitnya, lebih baik buat bekal makan enam hari di warteg.
Untuk itulah, seusai parkir motornya, Sabar bergegas melangkah.
Niatnya, ke Warung Tegal. Tapi baru beberapa langkah, Sabar malah
mendengar suara yang memanggilnya .
“Bang…bang
ojek, tunggu”
Sabar
menoleh. Ia melihat pelayan ru mah makan melangkah bergegas untuk
mengham pirinya.
“ Ada
apa, mas ?”
“Ada apa,
ada apa? Gara-gara abang ti dak ikut masuk ke dalam, jadi saya yang
capek. Sekarang, lebih baik cepat deh, si abang masuk “
Kata sang pelayan
restoran, yang tentu saja tak bisa menyembunyikan rasa kesal karena
gara-gara Sabar tak langsung masuk ke rumah makan, ia harus
kehilangan waktu dan tenaga karena harus memberikan pelayanan terbaik
ke pelang gan atau calon pelanggan
“ Bilang
saja saya mau ke warteg,” sa hut Sabar yang semula kaget, karena
tak me nyangka jika Bondan mengajaknya makan.
Tapi
kemudian ia bergegas bersiasat dengan berlagak tidak menggubris
ajakan Bon dan. Terlebih Sabar melihat, sang pelayan rumah makan yang
baru saja memintanya masuk ke rumah makan, tidak tulus dalam
melaksanakan tugasnya.
“Si abang
jangan norak, dong. Teman si abang tuh mau ngajak makan enak. Ngapain
juga si abang malah mau ke warteg ?”
“ Teman?”
Gumam Sabar
Ia lalu
menatap sang pelayan
“Abang
nggak percaya kalau saya diminta tolong untuk segera memanggil abang?
Maka nya, cepat masuk dan tanya langsung ke teman abang, saya serius
apa berbohong?”
Sabar tetap
bimbang. Masih antara per caya dan tanda tanya. Pelayan yang ia lihat
kesal, bergegas meninggalkannya. Sabar masih mena tap sang pelayan
yang meninggalkan dirinya de ngan perasaan tidak percaya. Tapi,
akhirnya Sa bar mengikuti langkah sipelayan restoran.
Ia pun
masuk ke rumah makan. Di pintu masuk, Sabar celingukan. Baru bergegas
meng hampiri setelah melihat boss, yang duduk di me ja nomor 13
melambaikan tangan ke arahnya.
Meski sudah
di depan Bondan, Sabar tak langsung narik kursi. Sabar sebatas
sanggup berdiri. Bagaimana pun, sulit menghalau keragu an. Bukankah
ia tak diajak juga tak ditawarkan? Sabar masih belum sanggup menarik
kursi dan duduk bersama Bondan di rumah makan mahal.
“
Hahahaha, sorri. Saya pikir, bang Sa bar ngerti. Nggak taunya, nggak
ngerti. Lain kali, walau saya nggak nawarin, ikut masuk aja bang. Oke
?”
Sabar,
malah jadi gemetar. Tak bisa me nyahut meski hanya dengan kata oke.
Ia cuma mampu mengangguk. Itu pun anggukan yang le mah. Anggukan
antara kepingin segera duduk , tapi terantuk oleh rasa ragu. Malu
“Nggak
usah mikir panjang, bang. Le bih baik tarik tuh kursi, silahkan abang
duduk se santa-santainya. Terus, abang ambil ini,“ kata Bondan,
sambil ngegeser buku menu ke dekat Sabar.
“Pilih
sendiri makanan dan minuman yang abang suka,” kata Bondan
kemudian.
“ Jika
abang suka dan mau nambah, sampai tiga kali pun, silahkan. Pokoknya,
no problem. Yang penting, si abang kenyang. Oh iya, tadi di jalan,
kan abang bilang, isteri abang di rumah sakit. Kalau perlu, pesan
makanan yang paling enak dan paling mahal. Soal bayar, jangan abang
pikirin. Pokoknya, saya traktir.
Tapi,
kalau soal selera dan hasrat abang mau makan sampai kenyang, saya
serahkan uru san itu ke abang. Sebab, perut akang dan selera abang,
pasti sangat berbeda dengan perut dan selera saya. Oke ?”
“
Te..terima kasih, boss,” kata Sabar
Bersambung.......
0 komentar:
Posting Komentar