ADA PINTU
DI JENDELA
oleh : Oesman Doank
DUA PULUH ENAM
(6)
BONDAN
memperhatikan dengan seksama rumah yang ditunjukkan Sabar. Situasi
dan kondisi di sekelilingnya, juga tak luput dari per hatian Bondan.
Menurut Bonda, posisinya terla lu dekat dengan jalan utama, yang
padat oleh . berbagai kendaraan karena jalan utama komplek perumahan
telah dijadikan jalan alternative oleh para pengguna kendaraan yang
akan menuju Jakarta atau sebaliknya.
Bondan tak
suka dengan suasana lingku ngannya yang pasti bising.
“Kayaknya
gue nggak sreg.Kita cari yang lain aja, “ ujar Bondan sembari
kembali ke mo tor
Sabar
kecewa. Tapi, sekejap ia sudah bi sa bilang,” Siap boss “ dan
bergegas untuk kem bali membawa Bondan ke tempat lain. Tentu saja
Sabar sadar, ia tak cuma harus sabar. Terlebih, penumpangnya yang
sudah membayar lebih su dah mengingatkan
Sabar sudah
ke luar-masuk beberapa komplek perumahan di wilayah perbatasan
Jakar ta – Tangerang. Tapi, sejauh ini, belum juga me nemukan rumah
yang sesuai dengan selera dan pilihan yang diinginkan Bondan. Ada
saja ala san, yang membuat mereka harus segera melon cur ke tempat
lain, untuk mendapatkan rumah yang diinginkan Bondan.
Sabar memang
benar-benar harus lebih sabar. Juga tak boleh bingung, meski ia sudah
ke hausan. Pasalnya, penumpangnya saja malah begitu tenang. Sama
sekali tidak terlihat merasa kehausan. Sabar bukan tak merasa heran.
Tapi ju ga merasa tak enak jika ia harus menepi dan harus mampir ke
warung di tepi jalan. Untuk beli air mineral atau minuman apa saja.
“ Kalau
ada rumah makan, langsung mampir, ya, bang. Kayaknya, perut saya
sudah keroncongan, nih “
Tentu saja
Sabar sangat bersyukur. Sebab, saat ia sedang berpikir bagaimana
caranya agar bisa mengatasi rasa haus yang sudah sampai di sela-sela
kerongkongan, dan rasa lapar yang membuat perutnya keroncongan,
penumpangnya malah meminta agar Sabar mampir ke rumah makan..
Terlebih, tak lama berselang, Sabar me lihat rumah makan bagus. Rumah
makan mahal
Sabar
benar-benar plong. Ia jadi kepi ngin makan di rumah makan yang nampak
di pelupuk matanya. Rumah makan kelas atas. Ha nya, jika ia mampir ke
rumah makan itu, apakah penumpangnya berkenan mentraktir ?
Sabar
berspekulasi. Ia berbelok ke rumah makan mewah yang baru saja
dilihatnya. Bila di anggap oleh penumpangnya tak cocok, toh, ia si ap
meluncur kembali dengan segera untuk mencari rumah makan lainnya.
Nyatanya,
Bondan, penumpangnya, sa ma sekali tak protes. Tapi, setelah
menyerahkan helm ke Sabar, ia ngeloyor dengan begitu saja. Tanpa
permisi, tidak ngajak dan benar-benar tak hanya membiarkan Sabar.
Tapi, juga langsung meninggalkan sang pengojek yang masih duduk di
atas motornya
Tapi, Sabar
hanya sempat tertegun sejenak. Setelahnya, ia sadar, penumpangnya ha
nya seorang penumpang ojek yang hanya wajib membayar tapi tak punya
kewajiban untuk me ngajak dan mentraktir tukang ojek makan. Ter lebih
di sebuah retoran mahal, yang pastinya, ha rus punya uang karena
makanan yang dijual, bu kan untuk kalangan pengojek.
Sabar yang
sadar siapa dirinya dan mengapa ia ditinggalkan dengan begitu saja,
se gera menstandarkan motornya. Niatnya, satu dan benar-benar bulat:
cari warung tegang, eh, Wa rung Tegal alias Warteg.
Makan di
Warteg, meski tarifnya naik sampai lima belas ribu perak, Sabar
merasa ma sih sanggup bayar. Toh, sudah terima uang. Ka lau di
restoran mahal ? Meski saat ini ia sanggup bayar, meski sampai
seratus ribu rupiah, tentu saja Sabar harus mikir sejuta kali.
Bersambung.............
(function(i,s,o,g,r,a,m){i['GoogleAnalyticsObject']=r;i[r]=i[r]||function(){
(i[r].q=i[r].q||[]).push(arguments)},i[r].l=1*new Date();a=s.createElement(o),
m=s.getElementsByTagName(o)[0];a.async=1;a.src=g;m.parentNode.insertBefore(a,m)
})(window,document,'script','//www.google-analytics.com/analytics.js','ga');
ga('create', 'UA-41152331-1', 'sketsapantun.blogspot.com');
ga('send', 'pageview');
0 komentar:
Posting Komentar