oleh : Oesman Doank
" BUSYET, dah, " kata Tukijan, yang akhirnya menyatakan insaf seinsaf insafnya, dan dia barjanji nggak mau lagi berkarir sebagai Satpam, meski gajinya dinaikkan lima kali lipat dari standar UMR. Bukan kagak ngiler dinaikan gaji yang selalu diperjuangkan oleh para buruh tapi pemerintah selalu berdalih akan dipertimbangkan tapi tiap kali mempertimbangkan selalu berpihak ke pengusaha.
Tukijan jadi tidak berminat meniti karir dan batalin mimpinya jadi komandan satpam, lanaran tiap kali warga kampung Bolak Balik nyerbu warga kampung Mondar Mandir atawa sebaliknya, Tukijan yang mestinya harus gesit mengamankan situasi, tapi di saat seperti itu dirinya malah harus isigap menyembuyikan diri, agar selamat dari amuk masa, yang sepertinya lebih siap bertempur timbang siap membangun perdamaian.
"Jadi, kamu mau minta pensiun dini?" Tanya Kepala Bagian Personalia, yang agak sedikit heran karena menganggap Tukijan bego bin bodoh, lantaran kalau berhenti bekerja bakalan jadi pengangguran mengingat mendapatkan pekerjaan baru - baik sejenis maupun tidak sejenis, lebih susah dari mencari jarum di hamparan pasir.
"Saya datang bukan minta pensiun, pak. Tapi mengajukan permohonan berhenti dan dibebas tugaskan dari tugas berat menjaga dan mengendalikan keamanan" Jelas Tukijan.
" Iyaaa... saya ngerti. Cuma kenapa kamu harus mengajukan permintaan pensiun dini?"
"Pokoknya, saya minta berhenti dan sama sekali tak bermaksud minta pensiun dini," tegas Tukijan yang mulai sedikit emosi lantaran kabag personalia, dianggap sulit diajak ngomong.
Tapi, setelah dia mendapat penjelasan, Tukijan baru mengerti kalau kebiasaan kabag personalia lebih suka memakai istilah pensiun dini timbang memakai istilah yang digunakan oleh Tukijan
" Ooooh, begitu maksudnya. Sekarang saya jadi ngerti dan makin paham kalau permintaan saya segera dikabulkan," ujar Tukijan, yang kayaknya nggak sabar lagi untuk mendapat pesetujuan lantaran memang sudah kepingin banget mengakhiri karirnya yang tidak cemerlang
Tentu saja apa yang diinginkan Tukijan dikabulkan tanpa penundaan. Hanya, Kabag Personalia seperti kepingin tahu, mengapa Tukijan harus melepas pekerjaan sedangkan risikonya dia bisa jadi pengangguran dan anak isteri bisa nggak makan.
Tanpa ragu atau malu, Tukijan lantas menjelaskan kalau dirinya tak sanggup melaksanakan tugas karena hampir setiap minggu selalu terjadi tawuran antar kampung.
"Padahal, kita semua bersaudara. Eeeh, malah dianggap musuh. Repotnya, pak, kalau sudah saling serang, nggak lagi memikirkan keselamatan orang lain yang sama sekali tak ada kaitannya. Waktu mula mula saya bertugas, saya nggak takut karena selalu berpikir, masa sih sesama saudara nggak bisa didamaikan. Nyatanya? Sorenya bilang siap damai, besok atau lusa atau di hari berikutnya, malah kembali mengibarkan semangat siap perang. Mestinya, kan, dengan sesama saudara saling ciptakan damai dan hepi. Tawuran yang mestinya nggak perlu, eeeh,malah diperlu perluin.
Terus terang, pak, saya repot menghadapinya. Sebab, kalau nggak turun tangan, saya kan bertugas sebagai tim pengaman. Kalau turun tangan, malah nyawa saya terancam. Jadi, kayaknya, saya sudah nekad untuk memilih menyelamatkan diri timbang jadi korban dari budaya tawuran yang semakin sulit dikendalikan"
Mendengar alasan Tukijan, sang Kabag Personalia ternganga. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Tukijan lebih dahulu mengambil keputusan menghindar dari areal tawuran antar warga. Padahal, dia sudah cukup lama memikirkan hal itu. Hanya, karena takut kehilangan pekerjaan dan belum sanggup menghadapi ujian berat jika harus jadi pengangguran selama belum mendapat pekerjaan baru, dia hanya mengatakan salut dengan Tukijan.
Tapi, dia tetap mencatat, yang dilakuan Tukijan termasuk keputusan berani yang di dalamnya mengandung semangat menyelamatkan diri namun dilakukan dengan cara yang bego bin tolol. Mengapa disimpulkan seperti itu?
Menurut Kabag Personalia, tawuran memang bukan hal penting dan sangat tidak diperluan oleh manusia yang mestinya membangun perdamaian - apalagi dengan sesama saudara. Tapi, pekerjaan sungguh sangat penting. Sebab, hari gini, mau jadi satpam saja susah. Kalau tidak ada koneksi, tidak siap keluar uang untuk melicinkan jalan jadi satpam, banyak yang gagal jadi satpam. Terlebih, sistem kerja kontrak, masih belum dihapuskan.
" BUSYET, dah, " kata Tukijan, yang akhirnya menyatakan insaf seinsaf insafnya, dan dia barjanji nggak mau lagi berkarir sebagai Satpam, meski gajinya dinaikkan lima kali lipat dari standar UMR. Bukan kagak ngiler dinaikan gaji yang selalu diperjuangkan oleh para buruh tapi pemerintah selalu berdalih akan dipertimbangkan tapi tiap kali mempertimbangkan selalu berpihak ke pengusaha.
Tukijan jadi tidak berminat meniti karir dan batalin mimpinya jadi komandan satpam, lanaran tiap kali warga kampung Bolak Balik nyerbu warga kampung Mondar Mandir atawa sebaliknya, Tukijan yang mestinya harus gesit mengamankan situasi, tapi di saat seperti itu dirinya malah harus isigap menyembuyikan diri, agar selamat dari amuk masa, yang sepertinya lebih siap bertempur timbang siap membangun perdamaian.
"Jadi, kamu mau minta pensiun dini?" Tanya Kepala Bagian Personalia, yang agak sedikit heran karena menganggap Tukijan bego bin bodoh, lantaran kalau berhenti bekerja bakalan jadi pengangguran mengingat mendapatkan pekerjaan baru - baik sejenis maupun tidak sejenis, lebih susah dari mencari jarum di hamparan pasir.
"Saya datang bukan minta pensiun, pak. Tapi mengajukan permohonan berhenti dan dibebas tugaskan dari tugas berat menjaga dan mengendalikan keamanan" Jelas Tukijan.
" Iyaaa... saya ngerti. Cuma kenapa kamu harus mengajukan permintaan pensiun dini?"
"Pokoknya, saya minta berhenti dan sama sekali tak bermaksud minta pensiun dini," tegas Tukijan yang mulai sedikit emosi lantaran kabag personalia, dianggap sulit diajak ngomong.
Tapi, setelah dia mendapat penjelasan, Tukijan baru mengerti kalau kebiasaan kabag personalia lebih suka memakai istilah pensiun dini timbang memakai istilah yang digunakan oleh Tukijan
" Ooooh, begitu maksudnya. Sekarang saya jadi ngerti dan makin paham kalau permintaan saya segera dikabulkan," ujar Tukijan, yang kayaknya nggak sabar lagi untuk mendapat pesetujuan lantaran memang sudah kepingin banget mengakhiri karirnya yang tidak cemerlang
Tentu saja apa yang diinginkan Tukijan dikabulkan tanpa penundaan. Hanya, Kabag Personalia seperti kepingin tahu, mengapa Tukijan harus melepas pekerjaan sedangkan risikonya dia bisa jadi pengangguran dan anak isteri bisa nggak makan.
Tanpa ragu atau malu, Tukijan lantas menjelaskan kalau dirinya tak sanggup melaksanakan tugas karena hampir setiap minggu selalu terjadi tawuran antar kampung.
"Padahal, kita semua bersaudara. Eeeh, malah dianggap musuh. Repotnya, pak, kalau sudah saling serang, nggak lagi memikirkan keselamatan orang lain yang sama sekali tak ada kaitannya. Waktu mula mula saya bertugas, saya nggak takut karena selalu berpikir, masa sih sesama saudara nggak bisa didamaikan. Nyatanya? Sorenya bilang siap damai, besok atau lusa atau di hari berikutnya, malah kembali mengibarkan semangat siap perang. Mestinya, kan, dengan sesama saudara saling ciptakan damai dan hepi. Tawuran yang mestinya nggak perlu, eeeh,malah diperlu perluin.
Terus terang, pak, saya repot menghadapinya. Sebab, kalau nggak turun tangan, saya kan bertugas sebagai tim pengaman. Kalau turun tangan, malah nyawa saya terancam. Jadi, kayaknya, saya sudah nekad untuk memilih menyelamatkan diri timbang jadi korban dari budaya tawuran yang semakin sulit dikendalikan"
Mendengar alasan Tukijan, sang Kabag Personalia ternganga. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Tukijan lebih dahulu mengambil keputusan menghindar dari areal tawuran antar warga. Padahal, dia sudah cukup lama memikirkan hal itu. Hanya, karena takut kehilangan pekerjaan dan belum sanggup menghadapi ujian berat jika harus jadi pengangguran selama belum mendapat pekerjaan baru, dia hanya mengatakan salut dengan Tukijan.
Tapi, dia tetap mencatat, yang dilakuan Tukijan termasuk keputusan berani yang di dalamnya mengandung semangat menyelamatkan diri namun dilakukan dengan cara yang bego bin tolol. Mengapa disimpulkan seperti itu?
Menurut Kabag Personalia, tawuran memang bukan hal penting dan sangat tidak diperluan oleh manusia yang mestinya membangun perdamaian - apalagi dengan sesama saudara. Tapi, pekerjaan sungguh sangat penting. Sebab, hari gini, mau jadi satpam saja susah. Kalau tidak ada koneksi, tidak siap keluar uang untuk melicinkan jalan jadi satpam, banyak yang gagal jadi satpam. Terlebih, sistem kerja kontrak, masih belum dihapuskan.
0 komentar:
Posting Komentar