ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doank
EMPAT PULUH
“Pak, saya hanya melaksanakan amanah Tadi,
pak Bondan yang saat kami tinggal masih di kantin, memanggil kami. Lalu,
menanyakan, apakah bingkisan yang terpajang di kantin seba tas untuk pajangan
atau bisa dibeli. Setelah saya jelaskan bisa dibeli oleh sia pa saja, beliau
minta tolong agar kami segera mengantar bingkisan ini ke pak Sabar.
Beliau hanya bilang, isteri bapak dirawat
di ruang nomor 313. Kata pak Bondan, kalau bapak tanya beliau di mana, saya
harus bilang, beliau masih di kantin dan sedang asyik ngopi“
“ Bang…kenapa malah bengong seperti
itu? Abang nggak lihat, mereka kelihatan capek karena sudah bawa bingkisan itu
sejak dari lantai satu?”
Mestinya, tanpa diingatkan siapa
pun-ter masuk isterinya, Sabar bergegas menerima bing kisan yang memang untuk
Sabar. Terlebih, sudah dijelaskan pemberinya: pak Bondan. Hanya, tak seorang
pun yang tahu, mengapa, Sabar, malah langsung ke sudut ruangan dan membuat
semua orang di ruang nomor 313, mendadak harus ter kejut.
Baru kali ini, mereka – termasuk
isterinya, melihat seseorang, yang diberi hadiah bingkisan untuk isterinya yang
melahirkan, malah mena ngis. Meraung-raung.
“ Bang…Bang Sabar, Istighfar, bang.
Istighfar!”
Dari ranjangnya, Ariyani yang tak
boleh banyak bergerak, hanya bisa meminta dan mengi ngatkan agar suaminya beristighfar.
Kedua karyawan kantin, yang juga
kaget, segera meletakkan bingkisan di bawah ranjang Ariyani, dan mereka tak
berani menghampiri Sa bar, yang sudah di sudut ruangan, berdiri dengan tubuh
merapat ke dinding, yang tangisnya malah terus meraung, sesenggukan.
Pasien lain yang juga sedang dibesuk,
ten tu saja hanya bisa memperhatikan, dan mereka yang tetap di tempat
masing-masing, hanya bisa saling pandang. Mereka melihat, sesuatu yang aneh tapi
nyata
“Pak..apa kami salah?”
Karyawan kantin yang tadi membawa
bing kisan peralatan bayi, memberanikan diri untuk bertanya.
Mendengar pertanyaan, Sabar yang terus
menangis bak bocah, menjawab.
“ Kalian sama sekali tidak salah.
Cuma, ka lian tidak tahu, isteri saya pun tidak tahu, kalau hari ini, saya
mendapat begitu banyak limpahan karunia dari Tuhan. Hari ini, saya memang harus
menangis dan hanya bisa menangis. Sebab, se panjang hidup saya, baru hari ini,
Allah memper temukan saya dengan hambanya yang berhati mu lia. Dia itu orangnya
ikhlas, tau.
Saya tak pernah meminta apa pun, ia
juste ru terus memberi. Memberi..dan lagi-lagi membe ri. Dan, bingkisan ini,
adalah pemberiannya yang kesekian kalinya. Kalian boleh kaget, boleh ter cengang
dan boleh menuduh saya gila, karena di tempat ini, saya memang sedang menangis
“
“Bang…istighfar, bang. Istighfar.
Abang sudah mengganggu tata tertib di ruang rawat “
“Kamu tidak usah suruh-suruh saya.
Saya tak bisa tidak menangis, Ani. Sejak tadi, saya te rus menangis. Hanya,
kamu tidak tahu. Tidak per nah mengerti dan tidak akan paham. Saya bawa makanan pemberian,
boss, kamu malah kesal, malah suruh kalau dapat duit harus irit. Saya lihatkan
isi tas pinggang, kamu malah curigai saya.
Mestinya, kamu tanya saya dengan
cara baik-baik, lalu, kamu beri saya kesempatan un tuk menjelaskan. Tapi, kamu
cuma bisa memper lihatkan rasa takut. Kuatir tidak bisa bayar biaya perawatan
rumah sakit. Padahal, saya sudah bi lang, Allah itu Maha Besar, Maha Memberi
Rezeki. Kenapa kamu malah tidak mengerti? “
Bersambung……
0 komentar:
Posting Komentar