ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doank
TIGA PULUH TUJUH
BONDAN mengajak Sabar yang ia tahu sudah tidak sabar, untuk mampir
sejenak ke kantin rumah sakit yang
berada di lantai dasar. Tapi, ia tidak memaksa Sabar, yang menolak dengan
alasan kuatir makanan yang ia bawa dari rumah makan mewah, nantinya malah basi
dan akhirnya mubazir, jika tidak segera dinikmati oleh isterinya.
“Yaa, sudah. Lu duluan aja,
bang. Nan ti gue nyusul ke atas. Oh iya, dilantai tiga, kamar nomor 313, kan ?
“
“Benar sekali boss. Saya
duluan dan nunggu di atas saja, ya?”
“Oke, salam buat isteri lu.
Gue mau ri lek dulu. Hati-hati “
Bondan melangkah ke kantin. Sabar yang memang sudah tak sabar,
melangkah tergo poh, menuju lift. Sabar yang tangannya menjin jing tas plastik
warna merah berlogo rumah ma kan mahal, tidak kecewa, ketika sampai di depan lift,
ia tak bisa ikut naik karena lift baru saja ber gerak, naik ke atas dengan
penumpang full.
Karena Sabar yang memang sudah
tidak sabar, tak mau menunggu--meski hanya untuk beberapa saat, hanya berpikir harus cepat sampai ke lantai
tiga, Rumah Sakit Mahal Itu Indah. Ia
tak ingin nyasar ke lantai lain, karena ruang bersalin hanya di lantai tiga.
Selebihnya, adalah lantai untuk ruang rawat inap pasien non bersalin. Ia
bergegas menyusuri tangga
Sabar yang baru saja menyusuri
anak tangga rumah sakit, meski jelas terengah engah, sama sekali tak merasa
lelah. Begitu sampai ke lantai tiga, langsung bergegas menuju ruang rawat nomor
313.
Ariyani, isterinya, memang sangat
kelihatan tak sabar menunggu kedatangan Sabar. Begitu melihat suaminya masuk ke
ruangan, Ari yani tak memperhatikan nafas Sabar yang terse ngal dan tas plastik
yang dibawa suaminya. Setelah menjawab salam, mencium tangan sua minya, Ariyani
yang kuatir suaminya tak mampu membayar
biaya rumah sakit, langsung menge luh.
Sabar terpaksa lebih ingin mendengar
kan keluhan isterinya timbang segera
menyodor kan tas plastik dan merogoh
amplop setengah ju ta rupiah yang niatnya akan diserahkan ke isteri nya. Meski
begitu, Sabar sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya dikeluhkan Ariyani. Saat
Ariyani mengeluh, Sabar sengaja berpaling dan ia hanya menahan senyum, karena
kali ini, ia datang dengan solusi yang paling mumpuni
“ Masih ada keluhan yang ingin
kamu sampaikan?” Tanya Sabar, setelah yakin isteri nya usai mengungkap keluhannya. Tentu saja sambil
menghapus air mata di pipi isterinya
“Bang…kekuatiran saya
serius.Abang jangan anggap ringan soal biaya rumah sakit. Ka lau kita nggak
bisa bayar, yang pasti disandera bukan abang. Tapi saya, tau ?”
“ Tenang saja, Allah itu, kan
Maha Besar. Maha Memberi Rezeki bagi setiap hamba nya. Sekarang, lebih baik
kamu nikmati yang abang bawa. Oh, iya, ini makanan enak, lho. Harganya ? Wooow…
di luar jangkauan. Dua hari narik ojek, belum tentu bisa abang beli “
Sabar lalu sibuk mengeluarkan
bung kusan. Ariyani tak menggubris.
“ Bang…kita butuh uang buat bayar
biaya rumah sakit. Mestinya, dapat duit langsung diirit. Bukan malah beli
makanan mahal “
Sabar maklum, isterinya tetap
kesal ka rena tak tahu – tepatnya belum tahu, jika saat ini dirinya tengah
berada di puncak kegembiraan. Hanya, Sabar juga jadi kesal. Bukan pada Ariya ni.
Tapi, pada dirinya sendiri, yang belum mam pu mengabarkan hal yang paling
menggembi rakan.
Bersambung…………
0 komentar:
Posting Komentar