ADA PINTU DI JENDELA
Oleh : Oesman Doank
DUA PULUH DELAPAN
Kayaknya, jika ia tak mendengar
lang sung kalimat itu dari anak muda yang ia panggil boss. Tak melihat sikap boss, yang begitu
santai dan tulus. Ia tak sanggup menggeser kursi. Tak sanggup duduk di depan
boss. Tapi, karena ia langsung melihat dan mendengar, bisa juga ia menarik
kursi. Ia berusaha untuk duduk tanpa ragu, malu, apalagi malu maluin. Toh,
sudah jelas, boss mengajak dan mengijinkan ia untuk duduk bersamanya
Sabar merasakan, bimbang dan
ragunya sudah hilang. Rasa malunya pun lenyap. Sabar sudah bisa tenang. Ia
sudah bisa rileks, seperti Boss.
Ah, indahnya. Baru kali ini,
Sabar ma suk dan menikmati suasana rumah makan me wah. Tak lama lagi, ia yang
sudah dipersilahkan pesan makanan paling enak, akan menikmati makanan yang harganya
mahal. Malah, isteri nya yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit, juga akan
kebagian menikmati makanan enak yang harganya mahal.
“ Yaa, Allah. Terima kasih. Hari
ini, ham ba dapat banyak rezeki dan dapat penumpang yang baik hati karena kasih
dan sayangMU pada ku, hambaMu, “
Bondan memang tak tahu, suara apa
yang bergemerisik di dalam hati Sabar, si tukang ojek. Tapi, ia melihat dan tahu,
ada air mata yang mengalir di pelupuk mata
si tukang ojek. Dan, tak hanya itu. Dalam hitungan detik, Bondan malah mendengar
suara sesenggukan
“ Bang…,” kata Bondan dengan sikap
yang tetap saja santai. “ Gue tuh ngajak si abang makan. Bukan nyuruh si abang
sesenggukan. Gue ngajak dan nyuruh abang pilih makanan yang abang suka, kenapa
malah nangis? Kan, gue udeh bilang, soal siapa yang bayar, bukan urusan bang
Sabar. Tapi, urusan gue “
“ Saya ngerti, boss,” kata Sabar,
yang ingin hentikan tangis, tapi malah makin seseng gukan
“ Cuma, saya nggak bisa menahan
rasa haru. Saya benar-benar nggak nyangka, hari ini Tuhan melimpahkan begitu
banyak karunia. Da pat rezeki banyak dan ketemu sama anak muda, yang hatinya
baik dan bijak “
“ Bang…bang…,” Bondan terpaksa
meminta bang Sabar menuruti kemauannya. Bukan mau tegas, tapi Bondan, tak ingin
ikut-ikutan menangis. Terlebih, sedang di restoran, dan tujuan utamanya masuk
ke restoran mahal, bukan mau nangis sesenggukan. Tapi, mau makan.
“ Sekarang, tolong si abang jangan
se senggukan gitu. Anak si abang di rumah sakit, boleh nangis lantaran masih
bayi. Di sini, abang jangan cengeng. Lagipula, saya mau makan, bang. Kalau si
abang nangis, gimana saya bisa makan? Masa’ saya asyik makan si abang malah
asyik nangis? Nggak lucu, bang. Sekarang aja, nih, saya sudah tidak tahan lagi,
bang, kepingin nangis,” kata Bondan
Suaranya memang tegas dan sangat
jelas, tapi hatinya malah jauh lebih lemah dari kata-kata dan sikap tegasnya.Buktinya,
Bondan malah
ikutan nangis.
“Huhuhuhuhuhuhuhuhuhuhu, semua ini
gara-gara elu, bang. Gue ngajak makan, mestinya lu senyum dan bukan malah
nangis. Tapi, lanta ran lu nangis, gue
tuh jadi kepingin ikut nangis, bang. Huhuhuhuhu…“
Bersambung.......
0 komentar:
Posting Komentar